Monday 12 December 2011

Bersama BSMR (Bulan Sabit Merah Remaja)

Minggu 11 Desember 2011,Kembali saya berdiri di depan kelas ini setelah sekian lama tak bertatap muka dengan mereka, berbagi sedikit ilmu yang saya miliki untuk adek-adek BSMR SMP IT Cendikia. antusias mereka dalam mengikuti kegiatan sungguh luar biasa. hari ini saya harus mengisi di kelas Putra dan kelas Putri. ber
beda mungkin dengan setahun yang lalu saat masih ada dr. Adi dan dr. Rio disini, juga

kegiatan2 baksos bisa sering kami angkatkan sampai ke pelosok-pelosok, bisa sedikit ringan dengan seorang pembina di kelas putra dan satu pembina lagi di kelas putri. sendiri seperti ini dengan terpaksa harus mengulang materi yang sama di kelas yang berbeda. ah, tapi gak apalah semua ini harus dinikmati, bertemu dengan wajah-wajah mereka saja sudah menghilangkan penat. keceriaan mereka terlihat saat saya datang......." dokter datang..dokter datang..." sambil menyalam dan mencium tangan. " pak dokter kok lama gak datang mengisi BSMR..."...hayoo..jadi bingung jawabnya..., insyaallah ke depannya kita akan ak
tifkan lagi acara ini.
mereka juga berebut bertanya saat dikasih kesempatan untuk diskusi tentang materi yang diberikan.
berharap ke depannya BSMI
bisa lebih banyak lagi masuk ke sekolah-sekolah umum,semoga kegagalan kita saat memasukkan proposal-proposal pendirian BSMR ke sekolah2 di kota Padang dengan berbagai macam penolakan yang kita terima tidak menyurutkan langkah kita untuk terus berusaha memasukkan BSMR ke
sekolah-sekolah umum. tak akan manis perjalanan ini jika tak ada rintangan yang kita hadapi, tak akan selalu mulus apa yang kita inginkan, yang terpenting semangat itu tidak pernah padam dari dalam diri kita ,semangat untuk sebuah perubahan. agar semakin tersosialisasikan lambang ini. mendidik generasi-generasi baru, membangkitkan semangat Avicena-Avicena baru dalam diri mereka.


keep spirit!!!

( Hayo..sapa yang mau gabung dalam pembinaan BSMR?? ^_^ )

Sunday 11 December 2011

Doa Rabithah: Doa di Sepanjang Mihwar Dakwah

Oleh : Cahyadi Takariawan
Siang tadi (Sabtu 3 Desember 2011), saya mengikuti acara Tatsqif Kader Dakwah di Markaz Dakwah Gambiran, Yogyakarta. Ustadz Tulus Musthafa menyampaikan tausiyah yang sangat mengena. Penjagaan terhadap kader pada era dakwah di ranah publik harus semakin dikuatkan. Sarananya, kata beliau, telah terangkum dalam Doa Rabithah yang rutin kita baca setiap pagi dan petang.

Sembari mengikuti tausiyah beliau, ingatan saya menerawang jauh ke belakang.....

Suatu masa, di era 1980-an.....

Tigapuluh tahun yang lalu, beberapa orang aktivis dakwah, tidak banyak, hanya beberapa orang saja, duduk melingkar dalam sebuah majelis. Di ruangan yang sempit, diterangi lampu temaram, duduk bersila di atas tikar tua, khusyu’, khidmat, tawadhu’.

Tidak banyak, hanya beberapa orang saja. Berbincang membelah kesunyian, pelan-pelan, tidak berisik. Semua datang dengan berjalan kaki, naik sepeda tua, atau naik kendaraan umum saja. Pakaian mereka sangat sederhana, apa adanya, bersahaja. Hati mereka sangat mulia.

Duapuluh tahun yang lalu, beberapa orang itu bercita-cita tentang kejayaan sebuah peradaban. Cita-cita besar, mengubah keadaan, menciptakan peradaban mulia. Wajah mereka tampak teduh, air wudhu telah membersihkan jiwa dan dada mereka. Tidak ada yang berbicara tentang fasilitas, materi, jabatan dan kekuasaan.

Mengakhiri majelis, mereka menundukkan wajah. Tunduk dalam kekhusyukan, larut dalam kehangatan persaudaraan, hanyut dalam samudera kecintaah. Doa Rabithah mereka lantunkan. Syahdu, menusuk kalbu.

Air mata berlinang, bercucuran. Akankah segelintir orang ini akan bisa mengubah keadaan ? Akan beberapa orang ini akan mampu menciptakan perubahan ? Hanya Allah yang mengetahui jawaban semua pertanyaan. Doa telah dimunajatkan, dari hati yang paling dalam :

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu”.

“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar”.

“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu”.

“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin”.


Sejuk, menyusup sampai ke tulang, mengalir dalam darah. Meresap hingga ke sumsum dan seluruh sendi-sendi tubuh. Merekapun berdiri, berangkulan, bersalaman dengan erat. Masing-masing meninggalkan ruangan. Satu per satu. Hening, tenang. Tidak ada kegaduhan dan kebisingan.

Masa bergerak, ke era 1990-an

Sekumpulan aktivis dakwah, cukup banyak jumlahnya, berkumpul dalam sebuah ruangan yang cukup luas. Ruang itu milik sebuah Yayasan, yang disewa untuk kantor dan tempat beraktivitas. Mampu menampung hingga seratus orang. Semua duduk lesehan, di atas karpet. Lampu cukup terang untuk memberikan kecerahan ruang.

Sebuah Daurah Tarqiyah dilakukan. Para muwajih silih berganti datang memberikan arahan. Taujih para masyayikh di seputar urgensi bersosialisasi ke tengah kehidupan masyarakat, berinteraksi dengan tokoh-tokoh publik, memperluas jaringan kemasyarakatan dengan pendekatan personal dan kelembagaan. Semua aktivis diarahkan untuk membuka diri dan berkiprah secara luas di tengah masyarakat. Membangun jaringan sosial dan membentuk ketokohan sosial.

Sekumpulan aktivis dakwah, jumlahnya cukup banyak, datang dengan mengendarai sepeda motor, beberapa tampak mengendarai mobil Carry dan Kijang tua. Wajah mereka bersih, bersinar. Penampilan mereka tampak intelek, namun bersahaja. Sebagian berbaju batik, sebagian lainnya berpenampilan rapi dengan setelan kemeja dan celana yang serasi.

Acara berlangsung khidmat dan sederhana. Namun sangat sarat muatan makna. Sebuah keyakinan semakin terhujamkan dalam jiwa, bahwa kemenangan dekat waktunya. Kader dakwah terus bertambah, aktivitas dakwah semakin melimpah ruah. Semua optimis dengan perkembangan dakwah.

Usai acara ditutup dengan doa. Hati mereka khusyu’, jiwa mereka tawadhu’. Sekumpulan aktivis dakwah, cukup banyak jumlah mereka, menengadahkan tangan, sepenuh harapan dan keyakinan. Munajat sepenuh kesadaran :

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu”.

“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar”.

“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu”.

“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin”.
Mereka berdiri, berangkulan, bersalaman dengan erat dan hangat. Hati mereka tulus, bekerja di jalan kebenaran, pasti Allah akan memberikan jalan kemudahan. Doa Rabithah mengikat hati-hati mereka, semakin kuat, semakin erat.

Perlahan mereka meninggalkan ruangan, menuju tempat beraktivitas masing-masing. Khidmat, hening, namun tetap terpancar wajah yang cerah dan harapan yang terang benderang.

Masa terus mengalir, sampai ke era 2000-an....

Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka cukup banyak. Memenuhi ruangan ber-AC, sebuah gedung pertemuan yang disewa untuk kegiatan. Diterangi lampu terang benderang, dengan sound system yang memadai, dan tata ruang yang tampak formal namun indah. Tampak bendera berkibar dimana-mana, dan sejumlah spanduk ucapan selamat datang kepada peserta dipasang indah di berbagai ruas jalan hingga memasuki ruangan.

Sebuah kegiatan koordinasi digelar untuk mempersiapkan perhelatan politik tingkat nasional. Para aktivis datang dengan sepeda motor dan mobil-mobil yang tampak memadati tempat parkir. Mereka hadir dengan mengenakan kostum yang seragam, bertuliskan kalimat dan bergambarkan lambang partai. Di depan ruang, tampak beberapa aktivis berseragam khas, menjaga keamanan acara.

Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka cukup banyak. Mereka duduk berkursi, tampak rapi. Pakaian mereka formal dan bersih, sebagian tampak mengenakan jas dan dasi, bersepatu hitam mengkilap. Sebagian datang dengan protokoler, karena konsekuensi sebagai pejabat publik. Ada pengawal, ada ajudan, ada sopir, dan mobil dinas.

Para qiyadah hadir memberikan arahan dan taklimat, sesekali waktu disambut gegap gempita pekik takbir membahana. Rencana Strategis (Renstra) dicanangkan, program kerja digariskan, rancangan kegiatan telah diputuskan, para kader siap melaksanakan seluruh keputusan. Acara berlangsung meriah, diselingi hiburan grup nasyid yang tampil dengan penuh semangat.

Acara selesai, diakhiri dengan doa. Seorang petugas maju ke mimbar, memimpin doa, munajat kepada Allah dengan kerendahan hati dan sepenuh keyakinan akan dikabulkan. Doa pun diumandangkan :

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu”.

“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar”.

“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu”.

“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin”.

Acara resmi ditutup. Para aktivis berdiri, berjabat tangan, meninggalkan ruangan dengan khidmat. Terdengar kebisingan suara sepeda motor dan mobil yang mesinnya dihidupkan. Sepeninggal mereka, tampak panitia sibuk membereskan ruangan.

Masa cepat bergulir, hingga di era 2010-an.....

Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka sangat banyak. Harus menyediakan ruangan yang sangat besar untuk menampung jumlah tersebut. Ruang kantor Yayasan sudah tidak bisa menampung, ruang pertemuan yang sepuluh tahun lalu digunakan, sekarang sudah tampak terlampau kecil. Harus menyewa gedung pertemuan yang memiliki hall besar agar menampung antusias para aktivis dari berbagai daerah untuk datang.

Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka sangat banyak. Mereka datang naik pesawat, berasal dari Aceh hingga Papua. Berseragam rapi, semua mengenakan atribut dan jas berlambang partai. Peserta yang datang dari wilayah setempat datang dengan mobil atau taksi. Semua tampak rapi dan bersih.

Ruangan yang besar itu penuh diisi para aktivis dakwah yang datang dari seluruh pelosok wilayah. Dakwah telah tersebar hingga ke seluruh penjuru tanah air. Sebagian telah menempati posisi strategis sebagai pejabat pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, baik di eksekutif maupun legislatif. Hadir dengan sepenuh keyakinan dan harapan akan adanya perubahan menuju pencerahan.

Berbagai problem dan persoalan diutarakan. Berbagai ketidakpuasan disampaikan. Banyak kritik dilontarkan. Banyak saran dan masukan diungkapkan. Semua berbicara, mengevaluasi diri, mengaca kelemahan dan kekurangan, memetakan arah tujuan, namun tetap dalam bingkai kecintaan dan kasih sayang. Para aktivis sadar bahwa masih sangat banyak kekurangan dan kelemahan yang harus terus menerus diperbaiki dan dikuatkan. Semua bertekad untuk terus berusaha menyempurnakan.

Sang Qiyadah memberikan taujih dengan sepenuh kehadiran jiwa, “Nabi telah berpesan, bahwa sesungguhnya kalian dimenangkan karena orang-orang lemah di antara kalian. Maka tugas kita adalah selalu memberikan perhatian terhadap masyarakat, terlebih lagi kelompok dhuafa. Termasuk dhuafa di antara kader dakwah. Jangan pernah melupakan kerja para kader yang telah berjuang di pelosok-pelosok daerah. Lantaran kerja merekalah kita diberikan kemenangan oleh Allah”.

Lugas, tuntas. Arahan telah sangat jelas. Acara pun berakhir, ditutup dengan doa. Seorang petugas maju ke mimbar, mengajak semua peserta menghadirkan hati dan jiwa, dengan khusyu’ munajat kepadaNya agar senantiasa diberikan pertolongan dan kekuatan. Doapun dilantunkan :

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu”.

“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar”.

“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu”.

“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin”.

Ternyata, doa Rabithah telah menghiasi perjalanan panjang kami. Bergerak melintasi zaman, dengan beragam tantangan, dengan aneka persoalan. Para aktivis selalu setia dengan arah tujuan, bergerak pasti menuju ridha Ilahi. Doa Rabithah tidak pernah lupa dimunajatkan, di waktu pagi dan malam hari.

Kesetiaan telah teruji pada garis waktu yang terus bergerak. Lintasan mihwar membawa para aktivis menuju kesadaran, bahwa kejayaan adalah keniscayaan, selama isi Doa Rabithah diamalkan, bukan sekedar diucapkan.....

Kabulkan permohonan kami, Ya Allah....



*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia

Membangun Soliditas dengan Kader Berkualitas

Oleh : Solikhin Abu Izzuddin

Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (q.s. Ash-Shaff: 4)


Dimulai dari kader berkualitas

“Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini ialah Abu Ubaidah bin Al Jarrah.”

Sebuah soliditas adalah keniscayaan dalam jamaah dakwah. Kita memerlukan energy untuk terus membangkitkan semangat dan menghadirkan sosok-sosok pilihan yang mampu memaknai peran tanpa kehilangan jatidiri sebagai aktifis pergerakan. Kader yang senantiasa tegas dan lantang dalam menyuarakan perubahan demi perubahan. Seperti Abu Ubaidah ibnul Jarrah yang tetap teguh menjaga kepribadian. Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bersabda memuji Abu Ubaidah bin Al Jarrah, “Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini ialah Abu Ubaidah bin Al Jarrah.”

Bagaimana sosok Abu Ubaidah hingga mendapat pujian sebagai orang kepercayaan? Inilah rahasia super murabbi yang hendak kami sajikan. Beberapa episode penting dalam kehidupannya menjadi inspirasi bagi para murabbi untuk terus menempa diri menghadirkan prestasi demi prestasi dalam setiap episode tarbawi dan dalam setiap mihwar da’awi alias orbit dakwah.

Pada suatu hari Abu Ubaidah dan beberapa tokoh kaum Quraisy lainnya pergi ke rumah keluarga Al Arqam untuk bertemu secara langsung dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Oleh beliau, mereka ditawari masuk Islam, dan diperkenalkan syari’at-syari’atnya. Dengan tekun dan tenang Abu Ubaidah mendengarkan apa yang disampaikan oleh beliau. Diam-diam ia mencuri pandang wajah beliau yang nampak sangat rupawan dan bercahaya. Jenggot yang tipis menambah ketampanan beliau. Dan ketika mata Abu Ubaidah beradu pandang dengan mata beliau yang sejuk, seketika ia langsung menunduk dan merasa malu sendiri.

Begitu selesai mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Abu Ubaidah dan kawan-kawannya segera menyatakan beriman dengan suka rela dan atas kesadaran sendiri, setelah Allah Ta’ala berkenan membukakan hati mereka menerima Islam. Maka dalam waktu yang sama, Abu Ubaidah dan kawan-kawannya sudah menjadi orang muslim.

Yang menarik dari pribadinya adalah sikap-sikap bijaknya dalam mengatasi konflik. Mampu menyelesaikan masalah-masalah pelik dengan strategi yang sangat cantik dan unik.

Berjiiwa Besar dalam Perang Badar

Dalam perang Badar menghadapi konflik batin yang sangat berat. Dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, banyak para sahabat Nabi syahid di tangan ayahnya sendiri. Terjadi konflik batin, antara membela sahabatnya atau memerangi ayahnya. Dia harus mengambil keputusan. Dia harus bersikap tegas mengatasi konflik itu, dia harus memerangi dan membunuh ayahnya yang musyrik. Dia memenangkan keputusannya. Membunuh ayahnya. Dengan tangannya. Sungguh sebuah medan konflik yang telah diselesaikan dengan cantik.

Dia segera bisa mengambil keputusan yang tegas. Ia lebih mementingkan membela imannya kepada Allah dan mengutamakan akidahnya yang murni daripada menuruti perasaannya sebagai seorang anak terhadap ayahnya. Tanpa ragu-ragu, dia mendekati ayahnya. Segera melancarkan serangan yang mematikan ke tubuh ayahnya, sebelum didahului oleh temannya sesama pasukan muslim. Dan seketika ayahnya tewas di tangannya.

Momentum dalam Perang Uhud

Dalam perang Uhud. Ketika pasukan orang-orang musyrik menyiarkan kabar bohong bahwa Nabi saw telah terbunuh. Pasukan muslimin guncang. Putus asa. Kendor semangatnya. Menyaksikan hal ini Abu Ubaidah segera menghampiri Nabi saw yang sedang mendapat serangan yang sangat gencar. Bibirnya Nabi terluka. Gigi depannya retak. Pelipisnya memar. Wajah berlumuran darah. Luka. Tepat ketika di dekat Nabi, Abu Ubaidah melihat darah mengalir deras dari wajahnya yang elok.

Berkali-kali dia segera berupaya menyeka darah yang terus mengalir. Dia menanggalkan salah satu gigi depan Nabi yang sudah retak dengan cara menggigit. Menggunakan giginya. Tanpa peduli, sekuat tenaga dia tarik gigi depan beliau sehingga akhirnya tanggal. Tentu saja hal ini menimbulkan rasa sakit yang luar biasa pada beliau. Tak ayal, darah pun mengucur deras dari mulut Nabi. Tetapi dia merasa senang karena bisa mengurangi rasa sakit yang dialami oleh beliau. Itulah sisi lain Abu Ubaidah, berani mengambil resiko terberat agar Rasulullah selamat.

Berhasil dalam Perang Dzatus Salasil

Ketika Rasulullah saw mengutus Amru bin Ash dalam perang Dzatus Salasil, bersama 300 prajurit kaum muslimin. Tatkala mereka mendekati kabilah-kabilah tersebut, ternyata jumlah pasukan musuh amatlah besar. Amru bin Ash kemudian meminta tambahan pasukan kepada Rasulullah saw untuk memperkuat skuad pasukan kaum muslimin.

Rasulullah saw pun mengutus Abu Ubaidah ibnul Jarrah bersama 200 pasukan tambahan. Di dalam pasukan terdapat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Rasullah juga mengamanahkan panji kepemimpinan pasukan kepada Abu Ubaidah ibnul Jarrah dan memerintahkan segera menyusul pasukan Amru bin Ash seraya berpesan agar mereka bersatu padu dan tidak berselisih paham.

Ketika Abu Ubaidah tiba bersama pasukannya dan hendak mengimami seluruh pasukan tersebut —karena panji-panji kepemimpinan pasukan sebelumnya diserahkan oleh Rasulullah saw kepadanya—, Amru bin Ash berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau datang kemari untuk menambah pasukan yang aku pimpin. Dan aku adalah komandan pasukan di sini.”

Bagaimanakah sikap Abu Ubaidah?

Abu Ubaidah mematuhi apa yang dikatakan oleh Amru bin Ash yang akhirnya memimpin pasukan kaum Muslimin dan meraih kemenangan.

Saudaraku, Abu Ubaidah mampu memahami esensi pesan Nabi dan tetap menahan diri. “Hendaklah kalian semua bersatu padu dan tidak berselisih paham.” Padahal jelas, Rasulullah menyerahkan panji-panji kepemimpinan pasukan kepadanya, mengapa dia tidak merebut kepemimpinan itu?

Mengapa dia mengalah? Mengapa dia rela dipimpin oleh Amru bin Ash? Mengapa? Justeru di situlah keunggulan integritasnya. Pemimpin sejati adalah yang siap memimpin dirinya sendiri dan lebih mengutamakan soliditas dengan menjaga hubungan daripada memenangkan situasi.

Melejit dalam Berbagai Situasi Sulit

Ketika Rasulullah wafat, terjadi krisis kepemimpinan yang sangat sulit, menyulut konflik dan hampir-hampir memecah belah umat. Kaum muhajirin memilih Abu Bakar, kaum Anshar lebih memilih Sa’ad bin Mu’adz. Di tengah konflik inilah muncul nama Abu Ubaidah. Dia yang dipersaudarakan oleh Nabi dengan Sa’ad bin Mu’adz, tokoh puncak kaum Anshor. Sebenarnya ini sebuah pilihan yang tepat untuk perekat umat. Ini ‘kan kesempatan emas untuk berbuat, memberikan kontribusi penuh manfaat. Namun Abu Ubaidah melihat sesuatu yang oleh orang lain tidak terlihat. Dia bertindak cepat, lalu berseru dengan tawadhu,”Bagaimana kalian bisa mencalonkan aku, sementara di tengah-tengah kalian ada seseorang yang lebih hebat?”

Dia merasa Abu Bakar pilihan yang lebih tepat. Akhirnya Abu Ubaidah segera mengambil tangan Abu Bakar untuk berbaiat padanya, diikuti oleh Umar. Umat pun terselamatkan dari perpecahan. Terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah. Alhamdulillah.

Episode demi episode dilalui Abu Ubaidah penuh dengan pilihan-pilihan sulit. Saat berperang melawan Romawi di bawah pimpinan Heraklius, dalam kondisi terdesak dia mengutus kurir menemui sang khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq di Madinah untuk meminta pertimbangan. Khalifah mengirimkan pasukan tambahan dalam jumlah yang sangat besar untuk membantu pasukan yang sudah ada, seraya menginstruksikan:

“Aku mengangkat Khalid bin Al Walid sebagai panglima untuk menghadapi pasukan Romawi di Syiria. Dan aku harap kamu jangan menentangnya. Tetapi ta’atilah dia, patuhilah perintahnya. Aku memang sengaja memilihnya sebagai panglima, meskipun aku tahu kamu lebih baik daripadanya. Tetapi aku yakin dia memiliki kelihaian perang yang tidak kamu miliki. Mudah-mudahan Allah selalu menunjukkan kita kepada jalan yang lurus.”

Abu Ubaidah menerima perintah khalifah dengan lapang dada. Rela sepenuhnya. Dia sambut Khalid bin Walid dengan suka cita. Dia serahkan tampuk kepemimpinan kepadanya dengan sikap hormat. Khalid tahu, Abu Ubaidah seorang komandan yang cerdas, berpengalaman, dan pemberani. Dia menunjuk Abu Ubaidah sebagai komandan pasukan kavaleri. Lalu pasukan berangkat. Mengepung Damaskus. Khalid bin Walid bergerak ke pintu gerbang kota sebelah timur, Abu Ubaidah bergerak ke pintu gerbang daerah Jabiyah. Komandan-komandan yang lain bergerak ke gerbang masing-masing.

Kekuatan pasukan kaum muslimin berhasil mengepung kota yang sangat kuat tersebut dari segala penjuru. Karena terus didesak, penduduk kota Damaskus berusaha melakukan perlawanan dengan sangat gigih untuk mempertahankan kota mereka yang tercinta. Di tengah keadaan yang sangat genting tersebut, ketika pasukan kaum muslimin bertempur habis-habisan dengan pasukan Romawi, Umar bin Khattab ra menemui Abu Ubaidah. Membawa kabar, Abu Bakar telah wafat. Umar juga hendak memecat panglima Khalid bin Al Walid, mengembalikan kepemimpinan kepada Abu Ubaidah.

Abu Ubaidah menyembunyikan berita duka agar tidak terdengar oleh pasukan kaum muslimin yang sedang gigih bertempur di bawah komando panglima Khalid bin Walid melawan pasukan Romawi. Dia khawatir berita kematian sang khalifah Abu Bakar membuat suasana gempar sehingga kekuatan jadi buyar. Bahkan surat Umar untuk pemecatan Khalid bin Al Walid dia tahan, mencari waktu yang tepat benar. Sebab, mereka tengah menghadapi pasukan yang sangat tangguh. Bahkan keadaan pasukan kaum muslimin sedang terdesak. Abu Ubaidah tetap tegar dan tidak mau menyerah. Dia terus berjuang habis-habisan. Dia merasa jika terus menerus mengepung kota Damaskus yang sangat kuat, bisa menguras kekuatan pasukan kaum muslimin, melemahkan semangat mereka, dan menimbulkan kebosanan. Akhirnya dia mencari jalan keluar. Menawarkan gencatan kepada penduduk kota Damaskus. Namun dalam waktu yang bersamaan Khalid bin Al Walid baru saja berhasil mendobrak pintu gerbang kota sebelah timur sehingga dapat memasuki kota tersebut dengan leluasa.

Abu Ubaidah dan Khalid bin Al Walid lalu bertemu. Mereka terlibat perdebatan sengit tentang apa yang harus dilakukan terhadap kota Damaskus, apakah ditaklukkan dengan kekerasan atau memilih jalan damai, gencatan senjata?

Abu Ubaidah bersikukuh menempuh jalan damai dengan penduduk Damaskus, sehingga Khalid bin Walid pun luluh. Mengalah demi menghormati Abu Ubaidah yang terlanjur telah mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Damaskus. Khalid bin Al Walid tunduk patuh kepada Abu Ubaidah setelah mengetahui bahwa dirinya sudah dipecat sebagai panglima oleh Umar bin Khattab, khalifah yang baru.

Belajar Keulungan dari Abu Ubaidah

Mari kita belajar dari salah seorang dari Sepuluh Orang yang Dijamin Surga, dialah Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Seluruh mozaik kehidupannya perlu kita telisik dengan unik karena sosoknya mencerminkan kader pengokoh soliditas jamaah terutama di saat sulit, dalam berbagai medan konflik dapat dilalui dengan cantik. Kalau surga merindukannya tentunya ini pula yang menjadi obsesi kita.
  • Pertama, cepat merespon kebaikan demi kebaikan sejak pertama kali bergabung bersama Islam. Prestasi keislamannya dan berbagai peran unggulannya munculnya dari tarbiyah yang paripurna. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat baik.” (q.s. An-Nahl: 128)
  • Kedua, memiliki visi yang kuat dalam berjamaah. Yakni keterikatan dia pada jamaah karena ikatan visi, ikatan aqidah, keimanan, dakwah dan ukhuwah bukan karena ikatan kepentingan berupa jabatan, gengsi popularitas maupun kenikmatan duniawi yang sesaat. Medan konflik peran dan konflik batin mampu dilalui dengan sangat manis karena orientasi rabbani benar-benar menghunjam dalam diri.
  • Ketiga, mampu mengelola perbedaan menjadi kekuatan dan mensinergikannya menjadi jalan kemenangan demi kemenangan meski kemenangan tersebut bukan diatas namakan pada dirinya. Dia mampu menahan diri untuk tidak begitu menyampaikan berita-berita penting di saat-saat genting agar tidak menimbulkan konflik yang meruncing. Seorang murabbi dan para pemimpin dakwah mesti memiliki kecerdasan praktis seperti ini. Yakni kecerdasan untuk mengetahui apa yang harus dikatakan kepada orang tertentu, mengetahui kapan mengatakannya, tahu bagaimana mengatakannya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. (Robert Sternberg – dalam buku OUTLIERS Malcolm Gladwell)
  • Keempat, organisasi adalah system dan sarana bukan tujuan. Dalam menjaga soliditas jamaah dakwah Abu Ubaidah sangat peka merasakan betapa pentingnya menjaga soliditas team dan keberlangsungan system karena adanya tujuan-tujuan agung dakwah yang hendak diraih bersama.
  • Kelima, Selalu berorientasi memberi. Bila setiap kader memiliki jiwa seperti Abu Ubaidah kita akan merasakan atmosfer tarbiyah dan aura dakwah begitu melimpah ruah karena para ikhwah adalah barisan orang-orang yang sadar untuk memberikan kontribusi dalam perjuangan. Dan ini bisa dibangun dari lima pilar kesadaran berorganisasi atau berjamaah dalam kemenyeluruhan dakwah Islamiyah, yakni :

1. Individu bagian dari FUNGSI pencapaian TUJUAN.
2. Semangat MEMBERI mengalahkan semangat MENERIMA.
3. SIAP menjadi TENTARA KREATIF dalam bingkai KESETIAAN dan KETAATAN.
4. Berorientasi pada KARYA bukan POSISI
5. BEKERJASAMA walaupun BERBEDA
(M. Anis Matta, Dari GERAKAN ke NEGARA)


Bukan Menuntut tapi Memulai…

Soliditas itu dimulai dan dibangun dari dalam diri setiap kader dakwah, murabbi dan murabbiyah secara sadar. Sebab kebanyakan orang keluar dari organisasi --menurut Azim Premji Milyuner Muslim dari India—bukan karena tidak cinta kepada organisasinya namun karena manajemen yang buruk. Nah, kader-kader dakwah yang clear, care and competence mesti menjadi pelopor kebaikan dalam diri dengan mampu menjaga quwwatush shilah billah yang terimplementasi dalam ranah ukhuwah dari tataran dasar salamatush shadr hingga puncak itsar.

Inilah cara sehat untuk sehat. Kita sehat kalau berpikir untuk memberi manfaat kepada orang lain dan kita mudah lelah dan sakit bila hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Saat kita memberikan yang terbaik, sesungguhnya kebaikan itu akan kembali kepada kita juga.

Saudaraku, mari kita membentuk diri dengan spirit keulungan seorang murabbi sejati. Super murabbi didikan Rasulullah. Abu Ubaidah yang mampu mengelola konflik demi konflik dengan apik. Bukan untuk kebesaran dirinya tapi untuk kemenangan bersama. Kemenangan besar. Itulah yang mensurgakan perannya, yang mengangkat kebesaran jiwanya. Keunggulan dalam ketawadhu’an. Ketegasan dalam kesabaran.

Dibutuhkan kesabaran yang super seperti Abu Ubaidah untuk bisa meraih kemenangan yang besar. Kesabaran untuk kebesaran. Itulah cara mengelola sikap optimisme agar menjiwa, mendarahdaging, mensumsum tulang dalam berpikir menang. Kemenangan di alam jiwa, kemenangan di alam nyata.

Begitulah hidup. Lebih bermakna bila fokus pada kualitas tanpa meremehkan kuantitas. Adapun bila kualitas bergabung dengan kuantitas tentu akan menjadi kekuatan super dahsyat. Seperti kejeniusan pikiran seorang pemimpin, bersarang dalam hati yang ikhlas, tegak di atas fisik yang kuat, dan tampak dalam kemuliaan akhlak.

Semoga kita bisa mewujudkannya… dan itu dimulai dari dalam diri setiap ikhwah, kader-kader dakwah dan tarbiyah. Ya Ayyuhalladziinaa aamanuu intanshurullaha yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum.

-----
Maraji’:
1. Sepuluh Orang yang Dijamin Masuk Surga -
2. Outliers – Malcolm Gladwell
3. Dari Gerakan ke Negara – Anis Matta
4. Happy Ending full Barokah – Solikhin
5. Azim Premji ‘Billgate Muslim’ dari India – Haris Priyatna


*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia

Fenomena Kemenangan Islam Politik di Timur Tengah

Oleh: Jusman Dalle*
(Dimuat di Opini Detik.com Edisi 6 Desember 2011)

Terhadap relasi Islam dan politik kotemporer (demokrasi), terdapat dua kutub perspektif diantara para pengamat politik internasional maupun para orientalis. Francis Fukuyama (1992) dan Samuel P Huntington (1997) merupakan dua ahli politik internasional yang berada pada posisi melihat relasi negatif-destruktif antara Islam dan demokrasi. Bagi keduanya, tidak mungkin demokrasi yang lahir dari basis gagasan liberalisme dapat hidup berdampingan dengan Islam yang pada beberapa ajarannya sangat tegas (beberapa pihak menyebutnya konservatif).

Misalnya, dalam demokrasi berdirinya negara bangsa (nation state) merupakan keharusan. Sedangkan dalam pandangan Islam, gagasan persatuan ummat (ummah) merupakan kewajiban utnuk mencegah terjadinya polarisasi di intern umat. Menurut Huntington dan Fukuyama, konsep nation state tentu tidak kohenren dan tidak mungkin dikompromikan dengan ide ummah.

Berbeda dengan kedua rekan senegaranya, John L. Esposito (1996) dari Georgetown University yang puluhan tahun melakukan penelitian terhadap Islam, melihat bahwa Islam yang senafas dengan budaya politik demokratis memberi atmosfer bagi tumbuhnya demorkasi. Bagi Esposito, tradisi ijma atau konsensus bersama dan ijtihad yang diputuskan berdasarkan berbagai pertimbangan dan pandangan di dalam ajaran Islam, merupakan corak dari demokrasi. Senada dengan Esposito, Ahmad Moussalli (2001) yang juga Guru Besar Pemikiran Politik Islam dan Barat, melihat bahwa konsep syura (musyawarah) dan ikhtilaf (perbedaan pandangan) merupakan norma dan nilai demokrasi.

Mengamati kenyataan perkembangan politik di Timur Tengah yang bisa dikatakan sebagai representasi Islam politik, nampaknya pandangan Fukuyama dan Huntington telah dimentahkan. Fakta terakhir soal kemajuan demokrasi di Timur Tengah, adalah berlangsungnya pemilu demokratis di Mesir beberapa hari lalu. Dalam pemilu legislatif itu, kubu Islam politik menguasai 65 persen suara yang terbagi kepada kubu Al Hurriyah wa Al Adalah atau Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang berafiliasi ke Ikhwanul Muslimin, menguasai 36,6 persen suara dan 24,4 persen suara lainnya untuk kubu berhaluan Salafi, Partai Al-Nur. Kemenangan Islam politik di Mesir, membuktikan jika paham politik demokrasi masyarakat Mesir jauh dari apa yang dipostulatkan oleh Huntington maupun Fukuyama.

Kebangkitan Islam


Kenyataan politik di Mesir menjadi menarik kita telaah karena merupakan bagian dari rangkaian peristiwa Islam politik di Timur Tengah yang terjadi sejak akhir abad ke 20 yang lalu. Pada tahun 1989 berdiri partai Islam di Aljazair dengan nama FIS atau Front Islamic du Salut atau dalam bahasa Indonesia Front Keselamatan Islam. Pada pemilu 20 Juni 1991, FIS memenangi pemilu setelah meraup 54% suara. Namun karena pihak sekuler tidak menginginkan pemerintahan Islam, maka terjadi kudeta militer yang berakhir dengan pembubaran FIS.

Kenyataan tersebut menjadi pelajaran bagi partai politik Islam yang datang kemudian di berbagai belahan dunia. Diantaranya adalah Adelet ve Kalkinma Partisi (AKP, atau Partai Keadilan dan Pembangunan) di Turki. AKP yang didirikan oleh Recep Tayyip ErdoÄŸan pada tanggal 14 Agustus 2001, sejak tahun pertama menjadi gerakan politik terbesar yang didukung publik di Turki. Pada pemilihan umum tahun 2002 AKP memenangkan dua pertiga kursi di parlemen sehingga berhak membentuk pemerintahan partai tunggal setelah 11 tahun.

AKP tidak secara frontal mengatakan diri sebagai partai Islam, walaupun dalam program-program dan kebijakan politik pemerintahan di bawah Erdogan merupakan artikulasii dari nilai-nilai Islam. Banyak yang meyebut-nyebut jika AKP merupakan representasi dari ideologi politik Ikhwanul Muslimin, mengingat dekatnya hubungan emosional dan spiritual pemimpin AKP dengan organisasi pergerakan Islam terbesar di dunia ini. Sejak kemenangan pada pemilu tahun 2002, AKP masih menjadi kekuatan utama politik di Turki yang juga merupakan negara benua Eropa dan menjadikan masuknya Turki dalam keanggotaan Uni Eropa sebagai agenda utama mereka.

Umat Islam di Palestina, negara yang bergolak akibat perang berkepanjangan dengan Israel, juga tak luput menjadi bagian dari proses gelombang yang disebut oleh Huntington sebagai demokratisasi gelombang ketiga. Adalah Harakah al-Muqawwamatul Islamiyyah atau (HAMAS) yang merupakan partai Islam, memenangi pemilu 2006 lalu. Praktis, kemenangan HAMAS menjadi pukulan telak bagi Barat (utamanya Israel) yang selama ini memback up Fatah yang lebih mudah mereka kendalikan. Tak heran, jika Israel dan AS tidak mengakui pemerintahan Hamas. Standar ganda demorkasi ala Barat.

Pasca Revolusi Arab

Awal tahun 2011, efek domino dari demam demokratisasi yang selama ini dikoar-koarkan oleh Barat, dan tekad untuk keluar dari keterpurukan multidimensi baik ekonomi maupun politik di bawah pemerintah otoriter di Timur Tengah, ibarat bola liar. Memantul ke mana-mana, menjadi irama revolusi. Dari Tunisia, disusul oleh Mesir, Libya dan kini Suriah, kekuatan Islam politik semakin menempati ruang sekaligus mengeliminir penguasa despotik yang menjadi kacung Amerika dan sekutunya.

Tunisia yang sebelumnya diperintah oleh rezim diktator dan koruptif Ben Ali, kini telah beralih ke pemerintahan baru yang Islami. Partai An Nahda menang dalam pemilu 23 Oktober lalu dengan 41,47 persen suara. Pun dengan Partai bentukan Ikhwan memenangi pemilu Mesir pada pemilihan umum tahap pertama di beberapa kota besar. Kemenangan tersebut disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, karena besarnya basis massa Ikhwan yang selama ini memegang posisi strategis pada organisasi kemasyarakatan yang berpengaruh di Mesir. Walaupun tidak beraktifitas politik praktis, akan tetapi Ikhwan tetap bergerak pada ruang-ruang sosial yang bersentuhan dengan masyarakat.

Kedua, tindakan represif (kedzaliman) yang dialami selama 32 tahun rezim diktator Husni Mubarak berkuasa, menyebabkan masyarakat bersimpatik secara emosional. Ini bisa dilihat dari partai Al Wafd yang merupakan partai pemerintah, hanya memperoleh 5 persen suara.

Ketiga, dalam kampanyenya, Al Hurriyah wa Al Adalah tidak menonjolkan simbol-simbol keislaman yang dengan muda dijadikan oleh lawan politiknya sebagai titik lemah dan mengundang resistensi terhadap Barat. Al Hurriyah wa Al Adalah, sepertinya hendak mengadopsi corak politik AKP yang juga diadopsi oleh An Nahda. Tidak menjadikan politik Islam sebagai politik Islamisasi an sich, tetapi melalui kebijakan yang persuasif dengan membuktikan kinerja mereka kepada rakyat. Konsep politik yang implementatif dan subtantif.

Suksesnya gerakan politik Islam menginfiltrasi Timur Tengah, membuat AS dan Israel meradang. Selama ini, keduanya berkepentingan besar di kawasan Timteng. Sebelum revolusi, Tunisia dan Mesir merupakan anak manis yang begitu mudah diatur. Sebagai gerbang yang menempati posisi kunci atas pengaruh AS dan Israel, tanda-tanda beralihnya Mesir ke pemerintahan Islami di bawah Al Hurriyah wa Al Adalah membuat Obama dan Benjamin Netanyahu berfikir keras untuk menjaga eksistensi hegemoninya di kawasan Timur Tengah.

Kekhawatiran AS dan Israel bukan tanpa alasan. Mesir merupakan kawasan strategis bagi resonansi hegemoni AS di Timur Tengah yang kaya akan sumber minyak. Mesir juga merupakan pemasok energi gas ke Israel dengan harga dibawah kesepakatan internasional dan tanpa pajak. Bagi AS, Mesir memiliki daya tawar yang tinggi karena sekitar 2 juta barel minyak mentah disalurkan melalui Terusan Suez yang dikuasai oleh pemerintah Mesir.

Dengan beralihnya kepemerintahan Islam, bisa saja terjadi nasionalisasi atau proyek-proyek bisnis tersebut disetop. Kebijakan yang tentunya akan berpengaruh signifikan terhadap roda perekonomian negara industri sekelas AS dan Israel yang sangat bergantung pada bahan bakar minyak dan gas.

Suksesnya gerakan Islam merebut kekuasaan di beberapa negara, termasuk di Mesir, akan menginspirasi gerakan Islam dibelahan dunia lainnya (khususnya negara-negara non-demokratis di Timur Tengah) untuk menggulirkan gerakan demokratisasi.

Di sisi lain, saat ini krisis masih menghantui Eropa dan Amerika. Efek ganda dari krisis akan terasa jika saja pemerintah baru yang muncul di Timur Tengah tidak lagi tunduk pada kemauan Barat. Alamat berkurangnya pundi-pundi keuangan, serta pasar produk AS dan Eropa sehingga semakin memperburuk keadaan di kedua wilayah tersebut. Akhirnya, pemilu Mesir menjadi tonggak monumenal dari rangkaian etape kebangkitan Islam politik.

Lalu Indonesia?

Pertanyaannya, sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar, dan negara yang memiliki posisi strategis baik dari segi geopolitik maupun dari geoekonomi di kawasan Asia Pasifik dan juga di Asia Tenggara, kapan politik Islam bisa menata karut marut wajah negeri ini? Menjadikan nilai-nilai Islam sebagai penuntun dalam melahirkan Indonesia sebagai kekuatan utama ke 5 di dunia pada 2030 sebagaimana prediksi Goldman Sach Inc., maupun Ctandard Chartered Bank.

Adalah koreksi dan sekaligus kontemplasi bagi aktivis ragam partai politik yang menginginkan tegaknya nilai-nilai Islam di Indonesia. Tak ada salahnya belajar dari kemenangan partai-partai di Turki, Palestina, Tunisia dan Mesir. Tentang konsistensi mereka memegang prinsip sejak ditindas oleh rezim masa lalu, namun tidak bergeming walaupun ratusan aktifis ditangkap, dipenjara dan bahkan dibunuh. Partai-partai pemenang pemilu di Timur Tengah, juga secara persuasif mengartikulasikan kebijakan-kebijakan negara yang selaras dengan nilai Islam sehingga bisa mengeliminir resistensi dari masyarakat, sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan Erdogan di Turki.

Karakter lain adalah ketulusan bekerja untuk seluruh lapisan masyarakat, walau tidak harus berada di dalam kekuasaan. Ketika masa Husni Mubarak misalnya, para aktivis ikhwan banyak bergerak pada ranah sosial, dan ini sekaligus sebagai modal yang dikemudian hari mereka panen hasilnya.

Dan terakhir, mereka tetap percaya diri dengan nilai-nilai perjuangan yang dibawa walaupun Barat berusaha mengintervensi secara eksternal melalui propaganda media dengan gelombnang stigmatisasi sebagai kelompok Islamis. Propaganda tersebut tak membuat mereka berubah warna menjadi partai tanpa identitas. Wallahu’alam





*)http://jusman-dalle.blogspot.com/2011/12/fenomena-kemenangan-islam-politik-di.html