Saya baru saja operan pasien di
UGD dengan dokter jaga sore sebelumnya, ada beberapa pasien yang belum
dipindahkan ke ruangan rawat karena ruangan penuh dan untuk sementara akan di
rawat disini menunggu besok apabila ada pasien yang sudah diizinkan pulang dari
ruang rawat inap. Tidak seperti sewaktu bertugas di Sumatera yang dengan
mudahnya kita akan menyuruh pasien mencari rumah sakit lain apabila ruang rawat
inap penuh dan meski seringkali keluarga pasien menuduh kita menolak pasien. Ketika
persoalan seperti itu dihadapkan dengan kita disini, bagaimana mungkin kita
menyuruh pasien mencari rumah sakit lain karena memang inilah rumah sakit
rujukan satu-satunya di pegunungan tengah Papua ini dan merujuk ke rumah sakit
provinsi bukanlah hal yang mudah karena akses satu-satunya melalui jalur udara.
Tak jarang kita harus merawat pasien di atas brankar karena tempat tidur penuh.
2 pasien dalam kondisi kritis
yang seharusnya di rawat ICU tampak sangat mengkhawatirkan, berhubung ruangan
ICU dan dokter anastesi belum ada,pasien-pasien yang seharusnya di rawat di ICU
terpaksa diinapkan di UGD agar dokter jaga bisa mengontrol kondisinya setiap
saat. Ya tentu saja dengan berbagai kekurangan dalam sarana .Bakal menjadi
malam yang sangat panjang untuk jaga UGD kali ini. Syukurlah spesialis yang
menangani pasien ini kapanpun kita konsulkan beliau akan datang, meski itu
tengah malam sekalipun. Saya sangat salut dengan beliau, perhatiannya yang
sangat luar biasa kepada pasien, bahkan ketika obat dirumah sakit tidak ada
beliau akan membelikan obat diluar jika keluarga pasien tidak sanggup beli.
Salah satu Pasien tiba-tiba
kejang lagi, pasien ini sudah mengalami kejang dan henti nafas beberapa kali
dalam sehari ini menurut catatan dokter sebelumnya. Selang beberapa menit
setelah kejang teratasi dokter spesialis datang ke UGD untuk melihat kondisi
pasien. Tiba-tiba keluarga pasien marah-marah gak jelas.
“ saya tidak terima diagnosis
anak saya, saya akan tuntut dokter.” Dalam logat Papua suaranya meledak tiba-tiba sambil tangannya menunjuk-nunjuk
dokter spesialis.
“ ini penyakit buatan orang
(maksudnya anaknya diguna-guna).” Kami diam saja menunggu ia menyelesaikan kemarahannya.
Ternyata tidak berhenti sampai disitu.
“ saya tidak mau tau pokoknya
anak saya harus hidup, dokter harus tanggungjawab, kalau anak saya mati dokter
akan saya cari, saya orang terkenal di Wamena ini.”
“bapak kami bukan Tuhan yang bisa
menjamin hidup mati seseorang,kami hanya bisa berusaha.” Dokter menjelaskan ke
pasien dengan baik, suaranya bergetar menahan emosinya jangan sampai keluar.
“ saya tidak mau tau, anak saya
harus hidup.”
“bapak ini bagaimana,kalau tidak
bisa menerima penjelasan dari saya. Tadi juga saya suruh beli obatnya bapak
tidak mau beli, dan terakhirnya saya beli obatnya langsung untuk anak bapak,
itupun bapak tidak berterimakasih sama sekali. Bagaimana anak bapak mau sembuh,
bapak tidak mau ambil obatnya.”
Akhirnya ia pergi keluar sambil
ngedumel tidak jelas.
Bukan hal yang mudah ketika
berhadapan dengan pasien dan keluarganya apalagi di Papua, salah-salah bicara
bisa-bisa parang atau panah yang datang. Menghadapi watak mereka yang keras
perlu kesabaran ekstra, kalau tidak, bisa-bisa dalam beberapa minggu kita akan
memilih hengkang dari sini. Tak jarang dokter diancam pakai senjata tajam di
UGD, dokter dipukul pasien sampai pingsan. Dan itu semua belum seberapa
dibanding sejawat kami yang bertugas lebih di pedalaman lagi, tanpa listrik,
tanpa sinyal, ketika bahan makanan habis terpaksa makan ubi, makan mie
kadaluarsa, ancaman terkena penyakit menular. Tak jarang ancaman nyawa mereka
hadapi, kisah sejawat dokter ketika sebuah parang menempel di lehernya karena
alasan beliau tidak mau mengasih obat-obat puskesmas untuk disalahgunakan,
dokter yang diperkosa, dokter-dokter yang terkena malaria dan bahkan ada yang
sampai meninggal gara-gara malaria. Apa ada perhatian khusus dari pemerintah
untuk pengabdian mereka?. Kami tidak mengeluh dengan kondisi pekerjaan yang
kami hadapi, kami tidak mengharapkan puja puji dari siapapun, gembar-gembor
media untuk tugas ini. Kami hanya butuh profesi kami dihargai bukan malah
dikriminalisasi. Dan satu lagi kami bukan Tuhan dan tidak pernah terpikirkan
mau jadi Tuhan J.
Do’a dan dukungan kami untuk
sejawat kami dr. Ayu dan kawan-kawan, badai akan berlalu. Salam sejawat dari
Pegunungan Tengah Papua. selamat berjuang buat teman-teman DIB. Stop
kriminalisasi dokter!!!. Salam sejawat
No comments:
Post a Comment