Jika anda seorang pejabat atau keluarga pejabat tidak perlu lagi
khawatir mengenai jaminan kesehatan anda di 2014 mendatang, karena
premi asuransi untuk pejabat dan keluarganya mencapai 20jt/tahun. Dan
luar biasanya lagi bisa berobat ke luar negeri dengan jaminan kesehatan
yang ditanggung oleh negara, meski belakangan katanya presiden SBY kembali mencabut Perpres tentang berobat ke luar negeri bagi pejabat.
Tapi hal itu tidak berlaku buat anda yang bukan siapa-siapa alias
rakyat jelata. Negara hanya berani mengasuransikan kesehatan anda 19
ribuan dalam sebulan dan tentunya tidak ada berobat ke luar negeri.
Betapa sangat terlihat sekali kesenjangan antara pejabat dan rakyat
jelata. wajar saja Tere Liye dalam tulisannya menyebutkan istilah
Negeri para Bedebah, julukan yang tepat sekali buat Negeri kita
tercinta ini. Bagaimana bisa mereka membuat peraturan yang sama sekali
tidak memihak kepada rakyat, malah menguntungkan pribadi mereka sendiri.
Di Era pencitraan ini dunia kesehatan menjadi barang empuk untuk dijadikan komoditi politik bagi politikus2 kita. Dengan tawaran berobat murah, berobat gratis, atau sebut saja Program Kartu Dewa Sehat salah seorang Gubernur di sebuah provinsi antah berantah . Akan tetapi tanpa dibarengi perbaikan mutu baik sarana dan prasarana kesehatan dan dengan anggaran kesehatan yang minim .
Kita dari kalangan medis bukan tidak menerima program-program kesehatan yang digulirkan oleh pemerintah. Baik itu gratis, murah,cuma-cuma. Ya kita juga berharap masyarakat bisa dilayani dengan baik di fasilitas2 kesehatan. Siapa dokter yang tidak berharap pasiennya bisa sembuh, dokter mana yang tidak menginginkan pasiennya satu2 bisa di layani dengan baik. Tapi ketika kita dihadapkan pada kurangnya fasilitas, minimnya anggaran untuk kesehatan, kita bisa berbuat apa. Malah kita semakin dituntut oleh pemerintah untuk profesional. Sebagai contoh di rumah sakit tempat saya pernah bekerja, pernah suatu kali saya dimarahi pasien ketika ia kembali dari apotek RS karena Paracetamol yang saya resepkan tidak ada " dok, masa rumah sakit ini tidak ada paracetamol" ia merepet sambil menyodorkan kertas resepnya, ya anda salah alamat jika menyalahkan tenaga kesehatannya. Atau pasien2 yang merasa ditelantarkan akibat ruang rawat penuh, atau bayi2 prematur yang hanya dipanaskan dengan lampu biasa karena tidak adanya inkubator.
Media juga tak mau kalah untuk menyalahkan tenaga medis yang katanya menelantarkan pasien-pasien miskin, berobat hanya untuk orang kaya. Apa mereka gak mikir dana operasional RS itu tidak pake duit, modal ikhlas aja mah gak bisa, obat itu dibeli pake duit, barang2 laboratorium itu dibeli pake duit, ratusan tenaga di rumah sakit itu juga dibayar pake duit. Coba saja telusuri berapa utang pemerintah kepada rumah sakit-rumah sakit, namun di satu sisi mereka mendengungkan untuk bekerja profesional.bagaimana mungkin anda pengen beli mobil,tapi ngasih duit yang pas buat beli sepeda.
Kesimpulan saya apapun istilahnya di 2014 mendatang jaminan kesehatan tetap tidak berpihak bagi rakyat miskin, tapi hanya segelintir bedebah2 di Negeri ini yang menikmatinya.
Jaminan kesehatan hanya berganti nama saja, pelakunya juga itu-itu juga yang mengelola. Jadi jangan terlalu berharap banyak.
Di Era pencitraan ini dunia kesehatan menjadi barang empuk untuk dijadikan komoditi politik bagi politikus2 kita. Dengan tawaran berobat murah, berobat gratis, atau sebut saja Program Kartu Dewa Sehat salah seorang Gubernur di sebuah provinsi antah berantah . Akan tetapi tanpa dibarengi perbaikan mutu baik sarana dan prasarana kesehatan dan dengan anggaran kesehatan yang minim .
Kita dari kalangan medis bukan tidak menerima program-program kesehatan yang digulirkan oleh pemerintah. Baik itu gratis, murah,cuma-cuma. Ya kita juga berharap masyarakat bisa dilayani dengan baik di fasilitas2 kesehatan. Siapa dokter yang tidak berharap pasiennya bisa sembuh, dokter mana yang tidak menginginkan pasiennya satu2 bisa di layani dengan baik. Tapi ketika kita dihadapkan pada kurangnya fasilitas, minimnya anggaran untuk kesehatan, kita bisa berbuat apa. Malah kita semakin dituntut oleh pemerintah untuk profesional. Sebagai contoh di rumah sakit tempat saya pernah bekerja, pernah suatu kali saya dimarahi pasien ketika ia kembali dari apotek RS karena Paracetamol yang saya resepkan tidak ada " dok, masa rumah sakit ini tidak ada paracetamol" ia merepet sambil menyodorkan kertas resepnya, ya anda salah alamat jika menyalahkan tenaga kesehatannya. Atau pasien2 yang merasa ditelantarkan akibat ruang rawat penuh, atau bayi2 prematur yang hanya dipanaskan dengan lampu biasa karena tidak adanya inkubator.
Media juga tak mau kalah untuk menyalahkan tenaga medis yang katanya menelantarkan pasien-pasien miskin, berobat hanya untuk orang kaya. Apa mereka gak mikir dana operasional RS itu tidak pake duit, modal ikhlas aja mah gak bisa, obat itu dibeli pake duit, barang2 laboratorium itu dibeli pake duit, ratusan tenaga di rumah sakit itu juga dibayar pake duit. Coba saja telusuri berapa utang pemerintah kepada rumah sakit-rumah sakit, namun di satu sisi mereka mendengungkan untuk bekerja profesional.bagaimana mungkin anda pengen beli mobil,tapi ngasih duit yang pas buat beli sepeda.
Kesimpulan saya apapun istilahnya di 2014 mendatang jaminan kesehatan tetap tidak berpihak bagi rakyat miskin, tapi hanya segelintir bedebah2 di Negeri ini yang menikmatinya.
Jaminan kesehatan hanya berganti nama saja, pelakunya juga itu-itu juga yang mengelola. Jadi jangan terlalu berharap banyak.
No comments:
Post a Comment