Monday 25 November 2013

Dokter bukan Tuhan, Stop kriminalisasi dokter !!!


Saya baru saja operan pasien di UGD dengan dokter jaga sore sebelumnya, ada beberapa pasien yang belum dipindahkan ke ruangan rawat karena ruangan penuh dan untuk sementara akan di rawat disini menunggu besok apabila ada pasien yang sudah diizinkan pulang dari ruang rawat inap. Tidak seperti sewaktu bertugas di Sumatera yang dengan mudahnya kita akan menyuruh pasien mencari rumah sakit lain apabila ruang rawat inap penuh dan meski seringkali keluarga pasien menuduh kita menolak pasien. Ketika persoalan seperti itu dihadapkan dengan kita disini, bagaimana mungkin kita menyuruh pasien mencari rumah sakit lain karena memang inilah rumah sakit rujukan satu-satunya di pegunungan tengah Papua ini dan merujuk ke rumah sakit provinsi bukanlah hal yang mudah karena akses satu-satunya melalui jalur udara. Tak jarang kita harus merawat pasien di atas brankar karena tempat tidur penuh.
2 pasien dalam kondisi kritis yang seharusnya di rawat ICU tampak sangat mengkhawatirkan, berhubung ruangan ICU dan dokter anastesi belum ada,pasien-pasien yang seharusnya di rawat di ICU terpaksa diinapkan di UGD agar dokter jaga bisa mengontrol kondisinya setiap saat. Ya tentu saja dengan berbagai kekurangan dalam sarana .Bakal menjadi malam yang sangat panjang untuk jaga UGD kali ini. Syukurlah spesialis yang menangani pasien ini kapanpun kita konsulkan beliau akan datang, meski itu tengah malam sekalipun. Saya sangat salut dengan beliau, perhatiannya yang sangat luar biasa kepada pasien, bahkan ketika obat dirumah sakit tidak ada beliau akan membelikan obat diluar jika keluarga pasien tidak sanggup beli.
Salah satu Pasien tiba-tiba kejang lagi, pasien ini sudah mengalami kejang dan henti nafas beberapa kali dalam sehari ini menurut catatan dokter sebelumnya. Selang beberapa menit setelah kejang teratasi dokter spesialis datang ke UGD untuk melihat kondisi pasien. Tiba-tiba keluarga pasien marah-marah gak jelas.
“ saya tidak terima diagnosis anak saya, saya akan tuntut dokter.” Dalam logat Papua suaranya meledak  tiba-tiba sambil tangannya menunjuk-nunjuk dokter spesialis.
“ ini penyakit buatan orang (maksudnya anaknya diguna-guna).” Kami diam saja menunggu ia menyelesaikan kemarahannya. Ternyata tidak berhenti sampai disitu.
“ saya tidak mau tau pokoknya anak saya harus hidup, dokter harus tanggungjawab, kalau anak saya mati dokter akan saya cari, saya orang terkenal di Wamena ini.”
“bapak kami bukan Tuhan yang bisa menjamin hidup mati seseorang,kami hanya bisa berusaha.” Dokter menjelaskan ke pasien dengan baik, suaranya bergetar menahan emosinya jangan sampai keluar.
“ saya tidak mau tau, anak saya harus hidup.”
“bapak ini bagaimana,kalau tidak bisa menerima penjelasan dari saya. Tadi juga saya suruh beli obatnya bapak tidak mau beli, dan terakhirnya saya beli obatnya langsung untuk anak bapak, itupun bapak tidak berterimakasih sama sekali. Bagaimana anak bapak mau sembuh, bapak tidak mau ambil obatnya.”
Akhirnya ia pergi keluar sambil ngedumel tidak jelas.
Bukan hal yang mudah ketika berhadapan dengan pasien dan keluarganya apalagi di Papua, salah-salah bicara bisa-bisa parang atau panah yang datang. Menghadapi watak mereka yang keras perlu kesabaran ekstra, kalau tidak, bisa-bisa dalam beberapa minggu kita akan memilih hengkang dari sini. Tak jarang dokter diancam pakai senjata tajam di UGD, dokter dipukul pasien sampai pingsan. Dan itu semua belum seberapa dibanding sejawat kami yang bertugas lebih di pedalaman lagi, tanpa listrik, tanpa sinyal, ketika bahan makanan habis terpaksa makan ubi, makan mie kadaluarsa, ancaman terkena penyakit menular. Tak jarang ancaman nyawa mereka hadapi, kisah sejawat dokter ketika sebuah parang menempel di lehernya karena alasan beliau tidak mau mengasih obat-obat puskesmas untuk disalahgunakan, dokter yang diperkosa, dokter-dokter yang terkena malaria dan bahkan ada yang sampai meninggal gara-gara malaria. Apa ada perhatian khusus dari pemerintah untuk pengabdian mereka?. Kami tidak mengeluh dengan kondisi pekerjaan yang kami hadapi, kami tidak mengharapkan puja puji dari siapapun, gembar-gembor media untuk tugas ini. Kami hanya butuh profesi kami dihargai bukan malah dikriminalisasi. Dan satu lagi kami bukan Tuhan dan tidak pernah terpikirkan mau jadi Tuhan J.
Do’a dan dukungan kami untuk sejawat kami dr. Ayu dan kawan-kawan, badai akan berlalu. Salam sejawat dari Pegunungan Tengah Papua. selamat berjuang buat teman-teman DIB. Stop kriminalisasi dokter!!!. Salam sejawat

No comments:

Post a Comment