Saturday 20 November 2021

Merujuk Pasien dengan Pesawat Kecil di Pedalaman Papua


Perjalanan atau akses ke beberapa wilayah di Pedalaman Papua terutama daerah-daerah pegunungan masih banyak dengan moda transportasi udara. penerbangan dengan pesawat-pesawat kecil melewati celah gunung, lembah, sungai besar dan di atas belantara hutan. sensasi seperti itu cukup membuat adrenalin naik. sedangkan naik pesawat besar saja masih sering perasaan takut datang apalagi pesawat-pesawat kecil yang hanya berpenumpang beberapa orang saja. 
Perjalanan kali ini membawa pasien post Covid-19 yang sudah terpasang ventilator sebulan lebih untuk di rujuk ke rumah sakit Yowari di Sentani-Jayapura, beberapa penerbangan tidak bisa dan tidak ada jadwal keberangkatan saat itu hanya maskapai AMA yang menyanggupi. saat pandemi Covid melanda Wamena dan sekitarnya juga sangat merasakan dampak dari pandemi ini. keterbatasan oksigen, keterbatasan sarana prasarana, obat-obatan yang kurangnya banyak, apalagi merawat pasien-pasien dengan kondisi critical ill seperti ini, rasanya merawat pasien menjadi tidak maksimal. syukur-syukur kalau keluarga masih bisa mendatangkan obat-obat dan alat kekurangan yang lain dari luar kita bisa sedikit lega untuk merawat pasien dengan ventilator, tapi jika keluarga pasien tidak mampu kita tak bisa berbuat banyak dengan hanya mengandalkan apa yang ada. 
alhamdulillah pasien ini sangat disupport penuh dari keluarga dan anak-anak beliau mulai dari kekurangan obat-obatan, nutrisi dan alat dari luar. sangat membantu dalam perawatan sampai kondisi pasien seperti ini yang awalnya masuk dengan saturasi 60 an masih bisa survive dan sudah bisa sesekali dilepas dari ventilator dan sudah memungkinkan untuk dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang lebih baik. Dengan segala kekurangan yang saya miliki sebagai dokter anestesi dan dengan fasilitas yang seperti ini sangat bersyukur sampai sejauh ini dapat merawat pasien tersebut.

Selama perjalanan pasien tetap harus disupport ventilasi dengan baging manual. Oksigen kami bawa 2 tabung, semoga tidak harus mengganti tabung saat di atas pesawat, agak repot juga karena gerak kita dalam pesawat yang terbatas karena pesawatnya kecil. Perajalanan ditempuh sekitar 1 jam Wamena-Sentani alhamdulilah tidak ada kendala yang berarti dan 1 tabung kecil oksigen cukup sampai di bandara sentrani meski setelah sampai langsung harus diganti yang penting mengganti sudah dalam posisi pesawat landing. selama perjalanan juga hemodinamik pasien stabil sampai tiba di rumah sakit rujukan. 
pengalaman pertama merujuk pasien dengan kondisi terintubasi dengan pesawat kecil. 
beharap pandemi ini segera berakhir karena tidak sedikit duka selama pandemi ini, sebagai tenaga kesehatan kita juga lebih memilih untuk merawat pasien non covid ketimbang pasien covid jika disuruh untuk memilih, tapi tak ada opsi itu. baik pasien covid atau non covid semua harus kita layani.
resiko terpapar yang sangat besar, belum lagi repotnya pakai APD dan susahnya melakukan tindakan intubasi, pasang CVC dan tindakan lainnya dalam kondisi memakai APD. belum lagi SDM yang kurang baik dari segi jumlah maupun ilmu, sebagai anestesi kita harus siap dengan kondisi seperti itu. meski tidak semua orang mengerti dengan beban kerja dan tanggungjawab yang kita pikul. merawat pasien OTG dengan pasien gagal nafas ya jelas beda beban kerjanya, tapi ya sudahlah semoga pandemi ini segera berlalu sudah terlalu banyak duka dan air mata baik dari kami tenaga kesehatan maupun keluarga pasien atau bahkan masyarakat yang terdampak covid ini. semoga Tuhan selalu menjaga niat ikhlas kita dalam membantu. 





Wednesday 17 November 2021

Laporan Kasus Malaria Serebral

Kabupaten/kota endemis tinggi malaria masih terkonsentrasi di Indonesia bagian timur, diantaranya Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, masih ada satu provinsi di luar wilayah timur yang memiliki kabupaten endemis tinggi, yaitu Kabupaten Penajaman Paser Utara, Kalimantan Timur.Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, sekitar 86% kasus malaria terjadi di Provinsi Papua dengan jumlah 216.380 kasus di tahun 2019. Di Kabupaten Jayawijaya sendiri pasien Malaria biasanya muncul pada pasien-pasien dengan Riwayat perjalanan ke daerah-daerah panas atau pantai seperti Jayapura dan daerah panas lainnya.

Malaria serebral adalah komplikasi neurologis yang paling parah yang disebabkan malaria Plasmodium falciparum. Mortalitas yang tinggi dan beberapa pasien yang bertahan hidup mengalami kerusakan otak yang menyebabkan gangguan kognitif jangka Panjang. Malaria serebral menyebabkan ensphalopati reversible yang difus yang ditandai dengan penurunan kesadaran dan kejang. Pada beberapa penelitian sitokin berperan padsa kondisi ini. Pada anak-anak di Afrika konsentrasi kadar sitokin plasma lebih tinggi pada pada pasien yang meninggal akibat malaria serebral dibandingkan yang tidak dan lebih tinggi pada pasien yang mengalami malaria serebral disbanding dengan pasien yang tidak mengalami komplikasi.

Parasit malaria merupakan penyebab dari malaria suatu parasite yang termasuk dalam filum apicomplexa. Seperti halnya parasit toksoplasma. Sekitar 100 spesies plasmodium telah diidentifikasi tetapi hanya ada lima spesies yang dilaporkan menginfeksi manusia, yaitu:

- Plasmodium falciparum.

- Plasmodium vivax.

- Plasmodium ovale.

- Plasmodium malariae.

- Plasmodium knowlesi.

Jenis plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax. Plasmodium falciparum adalah penyebab utama malaria berat, termasuk malaria serebral.

                                                                (Sumber : CDC (2017))

Malaria tropika atau disebut juga dengan malaria falciparum merupakan penyebab malaria serebral yang paling banyak meski beberapa kasus ditemukan disebabkan oleh plasmodium vivax. Faktor parasit yang mempengaruhi patogenesis adalah intensitas transmisi, densitas parasit, dan virulensi parasit. Sedangkan faktor pejamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, umur, status nutrisi, dan status imunologi.

Teori mekanik yang merupakan hipotesis yang banyak diterima untuk menjelaskan pathogenesis terjadinya malaria serebral memeliki beberapa fenomena.

1.     Sitoadherensi

yaitu peristiwa melekatnya parasit dalam eritrosit stadium matur pada permukaan endotel vaskular. Pada kondisi ini eritrosit yang terinfeksi parasite akan membentuk knob ( peristiwa knobing ), pada permukaan knob terdapat molekul-molekul adhesif yang akan melekat dengan molekul-molekul adhesive yang berada pada permukaan endotel pembuluh darah kapiler.

2.     Sekuesterasi

Eritrosit yang bersirkulasi hingga ke tingkat kapilar seharusnya masuk ke vena dan terus beredar dalam sirkulasi darah. Namun demikian, sitoadherensi menyebabkan eritrosit tidak beredar kembali dan tertinggal di pembuluh kapilar. Sekuestrasi menurunkan perfusi jaringan otak dan dapat menyebabkan penurunan kesadaran melalui hipoksia. Penurunan perfusi jaringan otak juga menyebabkan peningkatan aliran darah otak sebagai respons adaptif terhadap penurunan perfusi jaringan. Fenomena sekuestrasi hanya terjadi pada eritrosit terinfeksi P. falciparum. Hal inilah yang paling bertanggung jawab terhadap timbulnya malaria berat termasuk malaria serebral. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak. Selanjutnya hepar dan ginjal, paru jantung, usus, dan kulit

3.     Roseting

Selain melakukan sitoadherensi, parasit dalam eritrosit stadium matur dapat juga membentuk kelompok dengan eritosit-eritrosit lain yang tidak terinfeksi plasmodium. Fenomena ini disebut pembentukan roset/roseting. Roseting berperan penting dalam virulensi parasit dan ditemukan juga pada infeksi plasmodium yang lain.

Pada fenomena roseting, satu eritrosit terinfeksi akan diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang tidak terinfeksi. Pembentukan roset ini menyebabkan obstruksi atau perlambatan sirkulasi darah setempat (dalam jaringan) sehingga mempermudah terjadinya sitoadherensi. Pembentukan roset sendiri dapat dihambat oleh antibodi Plasmodium falciparum histidine rich protein-1 (Pf.HRP-1).

Selain roseting, kita juga mengenal istilah lain dalam patogenesis malaria tropika yaitu aglutinasi. Aglutinasi adalah perlekatan dua atau lebih eritrosit yang sudah terinfeksi parasite.

Selain hipotesis mekanik, kita juga mengenal hipotesis sitokin dan kemokin. Kedua teori ini dapat saling melengkapi. Sitokin dan kemokin memiliki peran yang rumit dalam patogenesis malaria serebral.

Sitodherensi selain menyebabkan sekuestrasi, juga akan menyebabkan EP berkontak dengan sel endotel. Kontak ini akan memicu cedera/disfungsi endotel lalu mengaktivasi endotel. Aktivasi endotel ini memulai suatu kaskade peristiwa yang salah satunya akan berujung pada apoptosis sel pejamu dengan diawali oleh apoptosis sel-sel endotel sendiri. Selain interaksi dengan endotel, EP juga berinteraksi dengan platelet. Interaksi ini memperparah cedera endotel melalui efek sitotoksik langsung.

Setelah di endotel, apoptosis selanjutnya terjadi pada neuron dan sel glia oleh berbagai mekanisme. Neuron dan sel glia akan terpapar langsung dengan sitokin-sitokin proinflamasi. Hal ini dimungkinkan karena reaksi inflamasi juga menyebabkan gangguan sawar darah otak. Selain itu, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, keadaan iskemia yang disebabkan oleh sekuestrasi akan menyebabkan fenomena eksitotoksisitas. Fenomena ini dipicu oleh peningkatan sekresi glutamat (yang memang akan meningkat pada keadaan iskemia otak) dan aktivasi reseptor-reseptor patologisnya di neuron seperti NMDA maupun karena adanya produk reaksi inflamasi seperti asam kuinolinat yang bersifat eksitotoksik. Mikroglia dan neuron juga mensekresikan NO pada keadaan iskemia yang turut memicu apotosis.

 

Manifestasi klinis

Pada malaria serebral ditandai dengan manifestasi  neuropsikiatrik . Manifestasi malaria serebral (MS) pada awalnya seperti gejala malaria tropika pada umumnya, seperti demam tinggi (>40°) biasanya tidak teratur dan tidak timbul secara periodic disertai menggigil. Sebagai gejala utama pada MS adalah penurunan derajat kesadaran dari ringan sampai berat mulai dari apati, somnolen, delirium, stupor sampai koma. Gejala neurologi lain adalah nyeri kepala, mual, muntah, kejang, paresa/ plegia, afasia, ketulian, kaku kuduk, tremor, korea, athetosis dan psikosis. Pada pemeriksaan neurologis klinis lain didapatkan perdarahan retina tanpa edema pupil pada 15 % sampai 28 % kasus pasien, reflek tendon dan tonus otot bervariasi, respon ekstensi plantar dan klonus akiles positif, reflek kulit dinding abdomen tidak ada. Pada MS juga dijumpai manifestasi klinik yang lazim terdapat pada malaria tropika seperti splenomegali, hepatomegali, ikterus, anemia, hemoglobinuri dan gagal jantung.

 

 Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan parasit plasmodium melalui sediaan tetes tebal atau hapusan darah. Hemoglobin menurun, lekosit meningkat, ureum kreatinin meningkat, glukosa darah menurun dan gangguan fungsi hati.  

Tetes/hapusan darah tebal: Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk penelitian di lapangan. Membuat ketebalan sediaan yang ideal sangat penting guna memudahkan identifikasi parasit . 

Tetes/hapusan darah tipis: Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium .

Pungsi lumbal dan analisis CSS bermanfaat terutama untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi otak. Pemeriksaan ini perlu dikerjakan jika kita mendiagnosis banding malaria serebral dengan infeksi otak. Tentu pemeriksaan ini harus memperhatikan adanya kontraindikasi.

 

Diagnosis malaria serebral secara umum dibuat jika ditemukan penurunan kesadaran atau bangkitan pada pasien malaria (terutama falsiparum). Namun demikian, perlu diingat bahwa pada daerah-daerah endemik dengan angka hiperparasitemia asimtomatik yang tinggi, harus dipertimbangkan juga penurunan kesadaran atau bangkitan karena sebab yang lain. Terutama pada pasien-pasien yang datang dengan penurunan kesadaran atau bangkitan tanpa episode demam-menggigil-berkeringat. Selain itu, perlu diingat bahwa penyebab gangguan otak dapat terjadi akibat berbagai hal. Sebagai contoh, demam tinggi saja sudah dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan bangkitan, terutama pada anak-anak. Hipoglikemia, cedera ginjal, gangguan hepar, sepsis, dan syok juga dapat menyebabkan penurunanan kesadaran.

 

”Diagnosis malaria didasarkan pada temuan klinis DAN parasitologis”

Diagnosis Klinis

 

Anamnesis

Keluhan utama: ada keluhan demam, menggigil, berkeringat

DAN

dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.

Adanya salah satu dari faktor-faktor risiko berikut dapat mengarahkan diagnosis ke arah malaria:

1.riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria;

2.riwayat tinggal di daerah endemik malaria;

3.riwayat sakit malaria/riwayat demam;

4.riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir; dan atau

5.riwayat mendapat transfusi darah

 

Pemeriksaan Fisik

1.Demam (suhu badan >37,5 ÂșC pada pengukuran di aksila)

2.Konjungtiva atau telapak tangan pucat (pada keadaan kronis)

3.Pembesaran limpa/splenomegali (pada keadaan kronis)

4.Pembesaran hepar/hepatomegali (pada keadaan kronis)

5.Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran, demam tinggi, ikterik, oliguria, urin berwarna coklat kehitaman (Black Water Fever), kejang, dan sangat lemah (prostration).

 

Ditambah Diagnosis Parasitologis

Pemeriksaan Laboratorium

1.Pemeriksaan mikroskopik untuk parasit malaria positif.

2.Pemeriksaan diagnostik cepat untuk malaria positif.

 

Terapi

Pemberian Obat Antimalaria

Lini Pertama

Pada kasus malaria berat, OAM yang diberikan ialah artesunat intravena dengan dosis 2,4 mg/kgBB, pada jam ke-0, jam ke-12, dan jam ke-24 lalu dapat diteruskan setiap 24 jam sampai pasien sadar/membaik. Apabila pasien sudah mampu minum obat, obat suntikan dihentikan (tetapi setelah menerima minimal tiga kali suntikan), dan dilanjutkan dengan obat ACT oral dosis lengkap tiga hari. Pada ibu hamil dengan malaria berat, pengobatan sama dengan memakai artesunat dari trimester 1 sampai trimester 3.

Artemeter injeksi intramuskular adalah obat pilihan ke dua setelah artesunat. Dosisnya 3,2 mg/kgBB pada hari ke-1 , dan setelah 24 jam menjadi 1,6 mg/kgBB. Dosis artesunat pada anak dengan berat badan lebih kurang daripada 20kg diharuskan menggunakan dosis 3 mg/kgBB hari.

Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan artesunat injeksi sebagai dosis awal sebelum merujuk ke rumah sakit rujukan. Obat kina HCl per infus dipakai bila tidak ada obat artesunat ataupun artemeter.


Sediaan artesunat parenteral adalah dalam bentuk vial yang berisi 60mg serbuk kering asam artesunik ditambah pelarutnya dalam ampul yang berisi 0,6ml natrium bikarbonat 5%.

-Larutan obat dibuat dengan mencampur 60mg serbuk kering dengan pelarutnya. Selanjutnya, tambahkan 3 – 5ml cairan dekstrosa 5%.

-Artesunat diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgBB intravena sebanyak tiga kali, yaitu pada jam ke-0, 12, dan 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgBB intravena setiap 24 jam sampai pasien mampu minum obat.

-Larutan artesunat ini juga bisa diberikan secara intramuskular dengan dosis yang sama.

-Apabila pasien sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihidroartemisinin + piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari.

-Pada pasien anak di bawah 20kg dosis artesunatnya menjadi 3mg/kgBB/kali.

 

Lini ke dua

Kina per infus merupakan obat lini ke dua untuk malaria berat. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina hidroklorida 25%.

Dosis dan cara pemberian kina pada orang dewasa termasuk untuk ibu hamil :

-Dosis awal: 20 mg/kgBB dilarutkan dalam 500ml dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama.

-Selanjutnya selama 4 jam ke dua hanya diberikan cairan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.

-Setelah itu, diberikan kina dengan dosis rumatan 10mg/kgBB dalam larutan 500ml dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% selama 4 jam.

-Empat jam selanjutnya, hanya diberikan lagi cairan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.

-Setelah itu diberikan lagi dosis rumatan seperti di atas sampai pasien mampu minum kina per oral.

-Apabila sudah sadar atau dapat minum, obat pemberian kina intravena diganti dengan kina tablet per oral dengan dosis 10 mg/kgBB/kali, pemberian tiga kali per hari (dengan dosis total 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang pertama).

 

Dosis anak-anak :

-Dosis 10mg/kgBB (jika umur <2bulan dosis menjadi 6 – 8 mg/kgBB) diencerkan dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5 – 10ml/kgBB diberikan selama 4 jam.

-Diulang setiap 8 jam sampai penderita sadar dan dapat minum obat.

 

Keterangan:

-Kina tidak boleh diberikan secara bolus intravena karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian.

-Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.

-Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB.

-Dosis kina maksimum untuk orang dewasa adalah 2000 mg/hari.

-Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan pemberiannya dalam dekstrosa 5%.

 

Penatalaksanaan Suportif

Penatalaksanaan malaria serebral mirip dengan penatalaksanaan malaria berat lainnya. Kebanyakan malaria berat melibatkan beberapa organ. Dengan demikian saat kita menemukan malaria serebral, kita perlu juga mencari organ lain yang terganggu lalu melakukan penanganan secara menyeluruh.

Pada pasien dengan penurunan kesadaran yang tidak mampu mempertahankan jalan nafasnya perlu dipertimbangkan untuk pemasangan support ventilator , pasien dengan tanda peningkatan tekanan intracranial diperlukan hiperventilasi. Sedangkan pasien yang sangat gelisah atau agitasi bahkan bisa sampai melukai dirinya bisa dipertimbangkan pemberian Haloperidol dengan pemberian titrasi dari dosis paling rendah bisa diberikan haloperidol dengan dosis 5-10 mg IM/IV pemberiannya harus dengan monitoring ketat,

Timbulnya kejang akan memperburuk diagnosis pemberian golongan bensodiazepin seperti diazepam sebagai obat lini pertama, jika dengan pemberian diazepam belum tertangani bisa diberikan fenitoin intravena dengan dosis 15-18mg/KgBB dengan kesecapatan pemberian 50 mg/menit dan atau bolus fenobarbital 10-15mg/kgBB intravena dengan kecepatanj pemberian 100mg/menit. Jika masih gagal bisa diberikan dengan anestesi umum dengan pemberian Midazolam atau Propofol atau tiopental dititrasi sampai Status epilepticus berhenti.  

Hati-hati pasien mengalami hipoglokemia apalagi pada pasien dengan pemberian terapi kina. Hipoglikemia akan memperburuk kesadaran, kejang atau syok sampi koma.

Prognosis malaria serebral tanpa terapi umumnya fatal. Pada anak, angka kematian akibat malaria serebral masih mencapai 15-20% meskipun sudah diberikan OAM (golongan kuinolin atau artemisinin). Mortalitasnya lebih rendah pada orang dewasa yang menerima terapi artesunat.

Laporan Kasus 

1.1  Identitas Pasien

·       Nama        : Tn. X

·       Sex            : Laki-laki

·       Umur         : 36 tahun

·       BB             : 60 kg

·       RM            : 43.xx.xx

·       Diagnosa   : Penurunan kesadaran ec. Malaria serebral

 

1.2  Perjalanan Penyakit

Anamnesis

Pasien mengalami penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, Riwayat berobat ke puskesmas dan mendapat terapi DHP dan Primaquin selama 2 hari. Riwayat perjalanan ke Jayapura selama sekitar 1 bulan.

IGD RSUD Wamena (13/11/2021)

Pasien dengan distress nafas RR 30-35x/m Rhonki -/-, Whezeng -/-, Saturasi perifer terbaca 90-93% dengan masker O2 21 %.

Perfusi hangat nadi 114 x/m tekanan darah 84/50 mmHg

Kesadaran 235 pupil bulat isokor 3/3 mm, Suhu 38,9 0C

Buang air kecil terpasang kateter, kinisial urin 100 ml, kuning pekat

Abdomen soepel, bising usus positif, hepar dan lien tidak teraba.

Edema ekstremitas tidak ada.

Hasil Laboratorium

Hb : 6.6, Hct : 18.9, Leukosit : 23.320, Trombosit: 54.000, GDS : 137, Ureum : 477,1, BUN : 208,9, Kreatinin : 5.3, Asam Urat : 18, SGOT : 139.5, SGPT : 87.4, Bilirubin Total : 27.9, Bilirubin Direk : 7.4, Bilirubin Indirek : 20.5, Na : 135.7, K : 4.74, Cl : 114.8

DDR : Plasmodium Falciparum (++++), GF (++)

Diagnosis : Malaria serebral+  AKI+Anemia+ Leukositosis+ Trombositopenia+ Sepsis?

Terapi :

          O2 nasal kanul 3-4 Liter

          Infus NaCl 0,9% loading 1000 ml dalam 30 menit

          IVFD Nacl 0.9% : D5 1:1

          Injeksi Artesunat 2 Vial ( 120 mg)/IV pada jam 0-12-24

          Inj. Cefotaxim 1 gr/8 Jam/IV

          Inj. Omeprazole 40 mg/24 Jam/IV

          Inj. Antrain 1 gr/8 jam/IV

          Konsul perawatan ICU

          Inj. ATS 1 ampul i.v.

          Pasang NGT

          Diet Sonde

14/11/2021 ( ICU RSUD Wamena)

B1      :

Airway : bebas

Breathing: Spontan respirasi 30-35 x/m, simetris, suara nafas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/- SpO2 97-100 % O2 Simple Mask 6-8 lpm

B2      :

Perfusi hangat, CRT < 2”, Nadi 114x/m; TD 96/50(68) mmHg

B3      :

GCS 235 pupil bulat isokor 3/3mm, Suhu 38.5 0C

B4      :

BAK terpasang kateter, Produksi urin 500 ml dalam 24 jam warna kuning pekat

B5      :

Abdomen supel BU (+)

B6      :

Edema -/-

 

Assesment : Penurunan Kesadaran ec Malaria Serebral + AKI + Anemia + Trombositopenia

Planning:

          O2 NRM 8-10 lpm

          Posisi head up 300

-       Infus loading RL 1000 ml dalam 20 menit

          Infus Nacl 0.9% : D5 2:2  / 2000 ml /24 jam

          Inj. Antrain 1 gr/8 jam/iv.

          Inj. Artesunat 120 mg 0-12-24 kemudian lanjut artesunate 120 mg/24 jam/iv

          Inj. Omeprazole 40 mg/ 12 jam /iv

          Inj. Cefotaxime 1 gr/8 jam/iv

          Diet susu 4x100 ml via NGT cek retensi

          Monitoring Vital sign dan Produksi Urin

          Transfusi PRC 2 kolf/hari

          KIE keluarga kondisi pasien memburuk dan pertimbangan pemasangan ventilator ( keluarga masih berunding)

15/11/2021 ( ICU RSUD Wamena)

B1      :

Airway : bebas

Breathing: Spontan respirasi 30-35 x/m, simetris, suara nafas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/- SpO2 97-100 % O2 NRM 8-10 lpm

B2      :

Perfusi hangat, CRT < 2”, Nadi 114x/m; TD 111/65 mmHg

B3      :

GCS 235 pupil bulat isokor 3/3mm, Suhu 37.8 0C

B4      :

BAK terpasang kateter, Produksi urin 3900 ml dalam 24 jam warna kuning pekat

B5      :

Abdomen supel BU (+)

B6      :

Edema -/-

Assesment : Penurunan Kesadaran ec Malaria Serebral + AKI + Anemia + Trombositopenia

Planning:

          O2 NRM 8-10 lpm

          Posisi head up 300

          Infus Nacl 0.9% : D5 2:2  / 2000 ml /24 jam

          Paracetamol drip 1 gr/8 jam/iv.

          Inj. Artesunat 120 mg/24 jam/iv

          Inj. Omeprazole 40 mg/ 12 jam /iv

          Inj. Cefotaxime 1 gr/8 jam/iv

          Diet susu 4x150 ml via NGT cek retensi

          Monitoring Vital sign dan Produksi Urin

          Transfusi PRC 2 kolf/hari ( pemberian darah masih tunda)

          KIE keluarga kondisi pasien memburuk dan pertimbangan pemasangan ventilator ( keluarga masih berunding)





Monday 15 November 2021

MANAJEMEN ANESTESIA PADA PASIEN EKLAMSIA

Eklamsia merupakan salah satu kegawatan dalam anestesia yang dimana seorang ahli anestesia dan ahli kandungan bekerja sama dalam penyelamatan dua nyawa sekaligus.

Peran ahli anestesi pada eklampsia adalah membantu dokter ahli kandungan untuk mengontrol dan mencegah kejang lebih lanjut, mengontrol tekanan darah, menjaga jalan napas yang bersih, mencegah komplikasi yang lebih besar, memberikan analgesia persalinan dan memberikan anestesi untuk operasi caesar.

Pendahuluan

Setiap Wanita hamil yang mengalami kejang dalam kondisi emergensi harus dianggap sebagai eklamsia sampai terbukti tidak. Dalam Bahasa Yunani arti dari eklamsia merupakan persepsi dari penglihatan kilatan cahaya, karena eklamsia dikaitkan dengan gangguan visual.

Eklampsia adalah terjadinya satu atau lebih kejang umum dan/atau koma pada preeklamsia dan tanpa adanya kondisi neurologis lain sebelum, selama, atau setelah persalinan.

Diagnosis banding meliputi epilepsi, infark serebral, perdarahan serebral, perdarahan subarachnoid, trombosis vena serebral, edema serebral, hipertensi maligna, tumor otak jinak dan ganas, abses otak, virus, bakteri, infestasi parasit, hiponatremia, hipokalsemia, hipoglikemia, dan hiperglikemia.

Faktor risiko eklampsia termasuk nulipara, kehamilan ganda, kehamilan mola, triploidi, hipertensi atau penyakit ginjal yang sudah ada sebelumnya, preeklamsia atau eklampsia berat sebelumnya, hidrops fetalis nonimun, dan lupus eritematosus sistemik.

Etiologi

Hipotesis merupakan mekanisme kerusakan endotel yang menyebabkan pre-eklampsia dan eklampsia


Patogenesis Kejang

Ada kehilangan autoregulasi dari Cerebral Blood flow (CBF) ( 60-120 mmHg) karena peningkatan CBF membuat pembuluh darah dilatasi, iskemik dan peningkatan permeabilitas. Otak mengalami vasospasme, iskemik, edema, perdarahan, dan hipertensi ensephalopati seringkali berhubungan dengan pathogenesis.

Gambaran Klinis

Gambaran klinis pre-eklampsia dijelaskan lebih awal. Ketika kejang muncul, maka menjadi eklampsia.

Ciri-ciri kejang spesifik untuk eklampsia adalah dijelaskan sebagai berikut.

Eklamsia memiliki onset yang tiba-tiba dengan wajah yang berkedut dengan mata menonjol, busa dari mulut, dan lidah tergigit. Biasanya mulai dengan wajah berkedut dan diikuti fase tonik yang berlangsung sekitar 15-20 detik. Kemudian menjadi fase klonik umum yang ditandai dengan apnoe yang berlangsung selama kurang lebih 1 menit. Pernafasan biasanya dilanjutkan dengan isnpirasi yang dalam dan Panjang serta pasien memasuki keadaan post iktal dengan periode koma. Henti jantung dan aspirasi paru oleh isi dari lambung dapat mempersulit kondisi kejang pasien.

Komplikasi utama eklampsia termasuk HELLP sindrom, terhambatnya pertumbuhan intrauterin, ablasio plasenta, defisit neurologis, pneumonitis aspirasi, DIC, edema paru, gagal ginjal, dan henti jantung.

Peran pencitraan CT-Scan

Pencitraan CT-Scan tidak diperlukan, karena kelainan neurologis bersifat sementara dalam banyak kasus. Moodley dkk, dalam studi mereka pada elektroensefalogram dan otak terkomputerisasi Temuan tomografi pada eklampsia menekankan bahwa pencitraan memiliki nilai klinis yang terbatas dan dapat dilakukan pada wanita yang terkena dengan tanda-tanda neurologis fokal, atipikal kejang, dan/atau pemulihan yang lama.

Peran ahli anestesi

Peran ahli anestesi pada eklampsia adalah membantu dokter ahli kandungan untuk mengontrol dan mencegah kejang lebih lanjut, mengontrol tekanan darah, membuat jalan napas yang bersih, mencegah komplikasi utama, untuk memberikan analgesia persalinan dan untuk memberikan anestesi untuk operasi Caesar.

1.       Mengontrol dan Mencegah Kejang

Konsep dasar dari mengontrol kejang adalah untuk mencegah cedera pada ibu, memastikan oksigenasi, memberikan bantuan jantung dan pernapasan, dan mencegah aspirasi. Magnesium sulfat (MgSO4) adalah obat antikonvulsan pilihan. MgSO4 diberikan 4 g IV bolus diikuti sebanyak 2 g/jam melalui infus atau syiringe pump. Dalam pemberian IM (Pritchard) 4 g 20% MgSO4 IV dan 10 g 50% MgSO4 IM diikuti oleh 5 g IM setiap 4 jam. Infus kontinius lebih baik dalam mempertahankan konsentrasi plasma daripada rejimen IM. Pemberian MgSO4 diberikan selama 24 jam post partum. Efek samping pemberian MgSO4 adalah potensiasi blokade neuromuskular, depresi pernapasan, hipotensi, henti jantung, PPH atonik, dan penurunan denyut jantung janin. Oleh karena itu, penting untuk memantau Refleks patella/ lutut, laju pernapasan, dan produksi urin selama pemberian terapi MgSO4. Kadar Mg serum harus di monitoring selama pemberian intravena. Kadar Mg plasma teraupetik adalah 4-7 meq/l atau 4,8-8,4 mg/dl ( 1 meq/l= 1,22 mg/dl). Jika kejang berlanjut atau berulang berikan bolus kedua (2 g) MgSO4. Jika kejang masih berlanjut setelah pemberian bolus kedua MgSO4, berikan fenitoin (15mg/Kg) atau diazepam (10 mg) atau Thiopentone (50 mg/IV). Pada studi yang dilakukan tahun 1995 menyatakan bahwa MgSO4 lebih unggul dibandingkan dengan diazepam atau fenitoin. Kejang resisten harus dikelola dengan pemberian muscle relaksan dan pemasangan ventilator. Dosis pemberian awal MgSO4 4 g dapat diberikan denga naman terlepas dari fungsi ginjal. Hal ini karena setelah distribusi dosis awal mecapai tingkat terpeutik yang diinginkan dan infus kontinius dipertahankan, jadi infus pemeliharaan yang dosisnya diubah pada penurunan laju filtrasi glomerulus. Fungsi ginjal di ukur dengan pemeriksaan kadar kreatinin plasma. Jika kadar kretainin plasma lebih dari 1,0 mg/ml, maka dosis pemberian magnesium intravena harus diturunkan.

2.       Mengontrol Hipertensi

Pedoman NICE untuk manajemen hipertensi adalah:

• Pengobatan antihipertensi dimulai ketika tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih dari 110 mmHg

• Pertimbangkan pengobatan pada tingkat yang lebih rendah jika penanda lain penyakit yang berpotensi parah seperti proteinuria berat atau gangguan hati atau gangguan hematologic muncul

• Labetalol, hidralazin, dan nifedipin adalah obat yang paling umum diberikan

• Atenolol, enzim pengubah angiotensin (ACE) inhibitor, obat penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan diuretik harus dihindari

• Nifedipin harus diberikan secara oral. Tidak ada peran untuk nifedipin sublingual

• Labetalol harus dihindari pada wanita dengan asma bronkial.

Dalam keadaan darurat, nifedipin oral 10-20 mg setiap 30 menit hingga maksimal 50 mg atau Inj. Labetalol 20, 40, 80 dengan jeda 20 menit secara intravena berdasarkan respon terhadap dosis maksimum 220 mg diberikan. Injeksi Hydralazine 5-10 mg setiap 20 menit hingga dosis maksimal 20 mg juga dapat diberikan. Jika hasilnya tidak memuaskan, yang terakhir pilihannya adalah nitrogliserin intravena.

Evaluasi Preanestesia

Masalah yang bisa ditemukan preanestesi pada pasien eklamsia berupa :

-          Hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik

-          Albuminuria ( Penurunan tekanan osmotic koloid)

-          Trombositopenia

-          Konstriksi pembuluh darah sentral

-          Penyakit sistemik terkait seperti diabetes melitus

-          Respon hipertensi selama intubasi dan ekstubasi

-          Interaksi obat dengan magnesium sulfat

-          Edema jalan nafas

-          Tromboemboli

Penilaian organ target yang terlibat

• Sistem kardiovaskular: Kontrol hipertensi, LV

fungsi, dan deplesi intravaskular (periksa osmolalitas)

• Sistem pernapasan: Untuk tanda-tanda edema paru

• Ginjal: Derajat oliguria dan kadar kreatinin

• Hati: Tes fungsi hati, gambaran klinis peregangan

kapsul hati

• Profil koagulasi: Jumlah trombosit, waktu protrombin,

Waktu tromboplastin parsial teraktivasi

• Pemeriksaan jalan napas: Derajat edema jalan napas

• Analisis ABG: Asidemia.

 

Tujuan manajemen anestesi

• Kontrol kejang

• Kontrol tekanan darah: Perawatan yang tepat harus diberikan jika tekanan diastolik melebihi 110 mmHg

• Kemungkinan peningkatan ICP tidak perlu dikhawatirkan ahli anestesi jika pasien tetap sadar, waspada, dan bebas kejang

• Koma persisten dan tanda-tanda lokalisasi dapat mengindikasikan mayor patologi intrakranial, yang akan mempengaruhi pengelolaan anestesi

• Pemeliharaan keseimbangan cairan: asupan harus dibatasi hingga 80 ml/jam

• Pemantauan oksigenasi ibu secara terus menerus dengan oksimetri

• Pastikan produk darah tersedia

• Pemeriksaan koagulasi harus dilakukan terlepas dari: jumlah trombosit

• Preloading yang bijaksana jika dicurigai hipovolemia atau pasca terapi vasodilator

 

Penatalaksanaan nyeri persalinan

Epidural analgesia bisa dipertimbangkan pada eklampsia yang masih sadar tanpa bukti peningkatan ICP atau koagulopati dan kejangnya telah terkontrol dengan baik. Hindari epidural jika ada defisit neurologis sampai diagnosis menjadi jelas. Tekniknya adalah sebagai berikut. Untuk memulai, hidrasi dengan 0,5-1 l kristaloid diperlukan. Elektrokardiogram ibu, tekanan darah, juga karena denyut jantung janin harus dipantau terus menerus. Pemberian oksigen dengan sungkup muka atau nasal kanula bermanfaat. Di antara anestesi lokal, bupivakain, 0,125%, dengan 2 g/ml fentanil sebagai bolus awal memberikan analgesia yang sangat baik dengan blok motorik minimal. Semakin kecil blok motor, semakin besar manfaat yang berkaitan dengan rotasi kepala janin. Dapat juga diberikan sebagai pump epidural dengan kecepatan 10-12ml/jam. Anestesi lokal lainnya, seperti ropivacaine dan levobupivacaine dapat digunakan tetapi keunggulannya dibandingkan dengan bupivacaine tidak didapatkan sampai sekarang. Dalam teknik spinal-epidural anastesia, opioid saja seperti fentanil atau sufentanil dapat digunakan atau kombinasi 1,25-2,5 mg bupivacaine

dengan 25 mcg fentanil. Hati-hati pemberian  Opioid dalam dosis besar untuk kemungkinan terjadinya peningkatan ICP karena depresi pernapasan. Lebih baik untuk hindari preloading yang berlebihan dengan cairan intravena sebelum memberikan analgesia epidural dosis rendah dan kombinasi spinal epidural anestesia. Baru dkk.[11] dalam studi mereka efek hemodinamik anestesi epidural lumbal pada preeklamsia berat  bahwa dengan hidrasi yang baik dan induksi blok yang lambat, hipotensi dapat diminimalkan dengan sedikit perubahan pada CVP, CI, dan PCWP.

Pemberian Ergometrin harus dihindari pada kala tiga persalinan karena dapat meningkatkan tekanan darah lebih lanjut. Sebagai gantinya,diberikan oksitosin 20 IU dalam satu liter larutan Ringer laktat diberikan secara intravena dengan kecepatan 10 tetes/menit. Tahap kedua dibantu oleh forsep pada semua pasien eklampsia yang memiliki persalinan pervaginam, untuk meminimalkan upaya ibu mengejan dan mencegah peningkatan tekanan darah lebih lanjut.

Manajemen anestesi untuk operasi caesar

Anestesi regional

Anestesi spinal atau epidural dapat diberikan dengan aman jika: pasien sadar, bebas kejang dengan tanda vital stabil dengan tidak ada tanda-tanda peningkatan ICP. Moodley dkk. tidak menemukan perbedaan dalam hasil ibu dan bayi ketika membandingkan epidural versus anestesi umum untuk operasi Caesar pada wanita sadar dengan eklampsia. Spinal anestesi dengan bupivakain dosis rendah dengan fentanil adalah pilihan yang baik. Keamanan anestesi spinal telah dipelajari pada eclampsia oleh Razzaque dkk. yang menyimpulkan bahwa spinal lebih aman dari GA untuk LSCS pada eklampsia. Sebuah kelompok prospektif perbandingan oleh Antonie et al. pada pasien dengan pre-eklampsia berat menyimpulkan bahwa pasien pre-eklampsia mengalami lebih sedikit hipotensi selama anestesi spinal untuk persalinan sesar elektif daripada ibu melahirkan yang sehat. Bupivakain hiperbarik (7,5 mg) dengan 25 mcg fentanyl dapat memberikan anestesi yang memadai untuk operasi caesar. Jika dilakukan Teknik spinal epidural anestesi, kehadiran epidural Kateter memberikan fleksibilitas untuk memperpanjang level dan durasi blok. Kontraindikasi anestesi regional termasuk penolakan pasien, DIC, solusio plasenta. terapi aspirin dosis rendah bukan merupakan kontraindikasi untuk teknik regional. Regional anestesi dianggap aman bila jumlah trombosit lebih dari 75.000 per mikro liter. Jumlah trombosit lebih dari 50.000 per mikro liter umumnya dianggap sebagai kontraindikasi. Dalam kisaran 50-75 ribu per mikro liter penilaian individu (mempertimbangkan risiko pasien dan tes koagulasi) diperlukan. Ahli anestesi juga harus mengevaluasi terhadap fungsi paru, produksi urin, bukti kompresi aortocaval dan hipotensi sistemik yang diinduksi epidural yang dapat menyebabkan penurunan aliran darah uteroplasenta. Pemberian Dosis kecil fenilefrin 50ug intravena atau ephedrine dapat digunakan untuk mengobati hipotensi sementara penambahan cairan intravena harus dengan bijaksana.

Anestesi umum

Anestesi umum (GA) adalah pilihan pada pasien dengan penurunan kesadaran, pasien dengan bukti peningkatan ICP. Anestesi dicapai dengan opioid dan relaksan teknik dan hiperventilasi. Pertimbangan yang penting adalah

• Edema jalan napas

• Kemungkinan manajemen jalan napas yang sulit

• Meskipun kadar kolinesterase menurun, durasi aksi suksinilkolin dan anestesi lokal ester adalah

jarang terpengaruh

• Respon hipertensi berlebihan terhadap endotrakeal intubasi

• Interaksi obat antara magnesium dan otot relaksan

• Dosis kecil zat volatile yang mudah dapat mencegah kesadaran

• Ekstubasi dilakukan pada saat pasien sepenuhnya sadar atau pasien dipindahkan ke ICU untuk dukungan ventilasi tergantung pada kondisi pra operasi dan  intraoperatif.

 

Manajemen Cairan

Temuan awal yang terlihat pada kebanyakan kasus adalah CVP rendah dan PCWP. Jika pengeluaran urin memadai tidak perlu untuk pemantauan khusus. Jika output urin tidak memadai, pemberian cairan dilakukan dengan: 250-500 ml kristaloid diinfuskan selama 20 menit. Jika respon baik bolus cairan tambahan dapat diberikan dengan hati-hati. Jika tidak ada respon terhadap bolus cairan awal, pemantauan CVP atau PCWP menjadi perlu. Kateter arteri pulmonalis adalah diindikasikan pada edema paru berat, oliguria tidak responsive untuk terapi cairan dan hipertensi yang tidak dapat diobati.

Pemantauan CVP

Saat ini ekspansi volume adalah CVP minimal 6-8 mmHg dianggap aman dan efektif. Muda dkk. studi tentang hemodinamik, invasif, dan ekokardiografi pemantauan pada ibu hamil hipertensi menemukan bahwa Gradien CVP-PCWP pada preeklamsia berat mungkin sebagai: setinggi 8-10 mmHg. Oleh karena itu, CVP 8 mmHg mungkin sesuai dengan PCWP setinggi 18 mmHg. Hasil ini dalam kelebihan volume dan mungkin edema paru. Oleh karena itu, tujuan dari ekspansi volume untuk mencapai CVP sebesar 4 mmHg atau kurang mungkin lebih baik pada eclampsia.

Kapan tekanan darah intra-arteri diindikasikan?

Meskipun kasus individu berbeda, pemantauan tekanan darah invasive diperlukan dalam situasi berikut.

• Tekanan darah tinggi yang berkelanjutan

• Potensi fluktuasi BP yang cepat

• Ketidakmampuan untuk mendapatkan BP dengan manset

• Pengambilan sampel berulang

• Penggunaan vasodilator perifer

• edema paru.

Edema paru merupakan komplikasi berbahaya yang dapat menjadi kardiogenik atau nonkardiogenik. edema paru kardiogenik disebabkan oleh salah satu gangguan ventrikel kiri fungsi sistolik atau diastolik. Adanya CO yang rendah, PCWP tinggi, CVP tinggi, dan SVR tinggi mencirikan sistolik disfungsi, sedangkan disfungsi diastolik dikaitkan dengan CO normal atau tinggi, PCWP tinggi, dan SVR normal.

Edema paru nonkardiogenik disebabkan dari faktor seperti peningkatan permeabilitas kapiler, iatrogenik, kelebihan cairan, ketidakseimbangan antara osmotik koloid tekanan (COP) dan tekanan hidrostatik, atau kombinasi dari faktor-faktor ini. Manajemen bervariasi sesuai dengan penyebab dan disfungsi klinis.

Disfungsi ginjal dan oliguria

Pada preeklamsia berat, vasospasme dan endotel disfungsi menyebabkan penurunan GFR. Serum kreatinin naik dan oliguria menandakan kerusakan yang cepat dari fungsi ginjal. Clark dkk. dalam studi mereka tentang mengelola hemodinamik oliguria pada pre-eklampsia menggambarkan tiga jenis temuan hemodinamik yang berbeda. Kelompok pertama menunjukkan tanda-tanda klasik hipovolemia seperti: dibuktikan dengan tekanan pengisian yang rendah, peningkatan SVR, dan fungsi jantung hiperdinamik. Ini merespon dengan baik untuk cairan IV. Kelompok kedua menunjukkan normal atau tekanan pengisian tinggi, CO tinggi, dan SVR tinggi. Pasien-pasien ini diobati dengan vasodilator dan pembatasan cairan. Kelompok ketiga menunjukkan peningkatan SVR dan PCWP, dan penekanan fungsi jantung merespons dengan baik pengurangan cardiak output. Jadi pengobatan untuk oliguria adalah berdasarkan kondisi .

Tromboprofilaksis

Pasien  dengan pre-eklampsia memiliki peningkatan risiko penyakit tromboemboli. Sebelum melahirkan, semua pasien harus memiliki stoking antiemboli atau pemberian heparin pada pasien yang tidak bergerak. Setelah melahirkan, dosis heparin  (dosis disesuaikan dengan berat awal kehamilan) harus diberikan setiap hari sampai pasien benar-benar mobile (tujuh hari jika melahirkan melalui operasi caesar). Heparin tidak boleh diberikan 4-6 jam setelah spinal anestesi. Kateter epidural harus dibiarkan di tempatnya selama setidaknya 12 jam setelah pemberian heparin . Setelah pencabutan kateter epidural, heparin tidak boleh diberikan selama 4-6 jam.

Manajemen pascapersalinan

Pada postpartum, pemantauan ketat dilakukan dari tanda-tanda vital, pemberian cairan dan produksi urin, dan gejala sampai 48 jam. Pasien biasanya menerima sejumlah besar cairan intravena selama persalinan, melahirkan, dan postpartum. Selain itu, selama periode postpartum ada mobilisasi cairan ekstraseluler yang menyebabkan peningkatan volume intravaskular. Akibatnya, wanita dengan eklampsia, terutama mereka yang memiliki fungsi ginjal abnormal, dengan solusio plasenta, dan mereka hipertensi kronis sebelumnya sudah ada, menyebabkan peningkatan risiko untuk terjadinya edema paru dan eksaserbasi hipertensi berat. Karenanya, sangat penting untuk melanjutkan kewaspadaan di masa nifas. Mengenai cairan intravena, setelah melahirkan,

wanita itu harus dibatasi cairannya untuk menunggu diuresis alami yang biasanya terjadi sekitar

36-48 jam setelah melahirkan. Jumlah total cairan (total cairan intravena dan oral) harus dibatasi

hingga 80ml/jam. Pembatasan cairan biasanya akan dilanjutkan selama durasi pemberian magnesium sulfat; Namun, peningkatan asupan cairan mungkin diperbolehkan pada waktu yang lebih awal

menunjukkan adanya diuresis yang signifikan. Parenteral magnesium sulfat harus dilanjutkan setidaknya selama 24 jam setelah melahirkan dan/atau setidaknya 24 jam setelah kejang terakhir. Mengenai terapi antihipertensi, metildopa dapat ditahan kalsium chanel blocker, beta blocker, atau alpha blocker.