Wednesday 17 November 2021

Laporan Kasus Malaria Serebral

Kabupaten/kota endemis tinggi malaria masih terkonsentrasi di Indonesia bagian timur, diantaranya Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, masih ada satu provinsi di luar wilayah timur yang memiliki kabupaten endemis tinggi, yaitu Kabupaten Penajaman Paser Utara, Kalimantan Timur.Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, sekitar 86% kasus malaria terjadi di Provinsi Papua dengan jumlah 216.380 kasus di tahun 2019. Di Kabupaten Jayawijaya sendiri pasien Malaria biasanya muncul pada pasien-pasien dengan Riwayat perjalanan ke daerah-daerah panas atau pantai seperti Jayapura dan daerah panas lainnya.

Malaria serebral adalah komplikasi neurologis yang paling parah yang disebabkan malaria Plasmodium falciparum. Mortalitas yang tinggi dan beberapa pasien yang bertahan hidup mengalami kerusakan otak yang menyebabkan gangguan kognitif jangka Panjang. Malaria serebral menyebabkan ensphalopati reversible yang difus yang ditandai dengan penurunan kesadaran dan kejang. Pada beberapa penelitian sitokin berperan padsa kondisi ini. Pada anak-anak di Afrika konsentrasi kadar sitokin plasma lebih tinggi pada pada pasien yang meninggal akibat malaria serebral dibandingkan yang tidak dan lebih tinggi pada pasien yang mengalami malaria serebral disbanding dengan pasien yang tidak mengalami komplikasi.

Parasit malaria merupakan penyebab dari malaria suatu parasite yang termasuk dalam filum apicomplexa. Seperti halnya parasit toksoplasma. Sekitar 100 spesies plasmodium telah diidentifikasi tetapi hanya ada lima spesies yang dilaporkan menginfeksi manusia, yaitu:

- Plasmodium falciparum.

- Plasmodium vivax.

- Plasmodium ovale.

- Plasmodium malariae.

- Plasmodium knowlesi.

Jenis plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax. Plasmodium falciparum adalah penyebab utama malaria berat, termasuk malaria serebral.

                                                                (Sumber : CDC (2017))

Malaria tropika atau disebut juga dengan malaria falciparum merupakan penyebab malaria serebral yang paling banyak meski beberapa kasus ditemukan disebabkan oleh plasmodium vivax. Faktor parasit yang mempengaruhi patogenesis adalah intensitas transmisi, densitas parasit, dan virulensi parasit. Sedangkan faktor pejamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, umur, status nutrisi, dan status imunologi.

Teori mekanik yang merupakan hipotesis yang banyak diterima untuk menjelaskan pathogenesis terjadinya malaria serebral memeliki beberapa fenomena.

1.     Sitoadherensi

yaitu peristiwa melekatnya parasit dalam eritrosit stadium matur pada permukaan endotel vaskular. Pada kondisi ini eritrosit yang terinfeksi parasite akan membentuk knob ( peristiwa knobing ), pada permukaan knob terdapat molekul-molekul adhesif yang akan melekat dengan molekul-molekul adhesive yang berada pada permukaan endotel pembuluh darah kapiler.

2.     Sekuesterasi

Eritrosit yang bersirkulasi hingga ke tingkat kapilar seharusnya masuk ke vena dan terus beredar dalam sirkulasi darah. Namun demikian, sitoadherensi menyebabkan eritrosit tidak beredar kembali dan tertinggal di pembuluh kapilar. Sekuestrasi menurunkan perfusi jaringan otak dan dapat menyebabkan penurunan kesadaran melalui hipoksia. Penurunan perfusi jaringan otak juga menyebabkan peningkatan aliran darah otak sebagai respons adaptif terhadap penurunan perfusi jaringan. Fenomena sekuestrasi hanya terjadi pada eritrosit terinfeksi P. falciparum. Hal inilah yang paling bertanggung jawab terhadap timbulnya malaria berat termasuk malaria serebral. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak. Selanjutnya hepar dan ginjal, paru jantung, usus, dan kulit

3.     Roseting

Selain melakukan sitoadherensi, parasit dalam eritrosit stadium matur dapat juga membentuk kelompok dengan eritosit-eritrosit lain yang tidak terinfeksi plasmodium. Fenomena ini disebut pembentukan roset/roseting. Roseting berperan penting dalam virulensi parasit dan ditemukan juga pada infeksi plasmodium yang lain.

Pada fenomena roseting, satu eritrosit terinfeksi akan diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang tidak terinfeksi. Pembentukan roset ini menyebabkan obstruksi atau perlambatan sirkulasi darah setempat (dalam jaringan) sehingga mempermudah terjadinya sitoadherensi. Pembentukan roset sendiri dapat dihambat oleh antibodi Plasmodium falciparum histidine rich protein-1 (Pf.HRP-1).

Selain roseting, kita juga mengenal istilah lain dalam patogenesis malaria tropika yaitu aglutinasi. Aglutinasi adalah perlekatan dua atau lebih eritrosit yang sudah terinfeksi parasite.

Selain hipotesis mekanik, kita juga mengenal hipotesis sitokin dan kemokin. Kedua teori ini dapat saling melengkapi. Sitokin dan kemokin memiliki peran yang rumit dalam patogenesis malaria serebral.

Sitodherensi selain menyebabkan sekuestrasi, juga akan menyebabkan EP berkontak dengan sel endotel. Kontak ini akan memicu cedera/disfungsi endotel lalu mengaktivasi endotel. Aktivasi endotel ini memulai suatu kaskade peristiwa yang salah satunya akan berujung pada apoptosis sel pejamu dengan diawali oleh apoptosis sel-sel endotel sendiri. Selain interaksi dengan endotel, EP juga berinteraksi dengan platelet. Interaksi ini memperparah cedera endotel melalui efek sitotoksik langsung.

Setelah di endotel, apoptosis selanjutnya terjadi pada neuron dan sel glia oleh berbagai mekanisme. Neuron dan sel glia akan terpapar langsung dengan sitokin-sitokin proinflamasi. Hal ini dimungkinkan karena reaksi inflamasi juga menyebabkan gangguan sawar darah otak. Selain itu, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, keadaan iskemia yang disebabkan oleh sekuestrasi akan menyebabkan fenomena eksitotoksisitas. Fenomena ini dipicu oleh peningkatan sekresi glutamat (yang memang akan meningkat pada keadaan iskemia otak) dan aktivasi reseptor-reseptor patologisnya di neuron seperti NMDA maupun karena adanya produk reaksi inflamasi seperti asam kuinolinat yang bersifat eksitotoksik. Mikroglia dan neuron juga mensekresikan NO pada keadaan iskemia yang turut memicu apotosis.

 

Manifestasi klinis

Pada malaria serebral ditandai dengan manifestasi  neuropsikiatrik . Manifestasi malaria serebral (MS) pada awalnya seperti gejala malaria tropika pada umumnya, seperti demam tinggi (>40°) biasanya tidak teratur dan tidak timbul secara periodic disertai menggigil. Sebagai gejala utama pada MS adalah penurunan derajat kesadaran dari ringan sampai berat mulai dari apati, somnolen, delirium, stupor sampai koma. Gejala neurologi lain adalah nyeri kepala, mual, muntah, kejang, paresa/ plegia, afasia, ketulian, kaku kuduk, tremor, korea, athetosis dan psikosis. Pada pemeriksaan neurologis klinis lain didapatkan perdarahan retina tanpa edema pupil pada 15 % sampai 28 % kasus pasien, reflek tendon dan tonus otot bervariasi, respon ekstensi plantar dan klonus akiles positif, reflek kulit dinding abdomen tidak ada. Pada MS juga dijumpai manifestasi klinik yang lazim terdapat pada malaria tropika seperti splenomegali, hepatomegali, ikterus, anemia, hemoglobinuri dan gagal jantung.

 

 Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan parasit plasmodium melalui sediaan tetes tebal atau hapusan darah. Hemoglobin menurun, lekosit meningkat, ureum kreatinin meningkat, glukosa darah menurun dan gangguan fungsi hati.  

Tetes/hapusan darah tebal: Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk penelitian di lapangan. Membuat ketebalan sediaan yang ideal sangat penting guna memudahkan identifikasi parasit . 

Tetes/hapusan darah tipis: Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium .

Pungsi lumbal dan analisis CSS bermanfaat terutama untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi otak. Pemeriksaan ini perlu dikerjakan jika kita mendiagnosis banding malaria serebral dengan infeksi otak. Tentu pemeriksaan ini harus memperhatikan adanya kontraindikasi.

 

Diagnosis malaria serebral secara umum dibuat jika ditemukan penurunan kesadaran atau bangkitan pada pasien malaria (terutama falsiparum). Namun demikian, perlu diingat bahwa pada daerah-daerah endemik dengan angka hiperparasitemia asimtomatik yang tinggi, harus dipertimbangkan juga penurunan kesadaran atau bangkitan karena sebab yang lain. Terutama pada pasien-pasien yang datang dengan penurunan kesadaran atau bangkitan tanpa episode demam-menggigil-berkeringat. Selain itu, perlu diingat bahwa penyebab gangguan otak dapat terjadi akibat berbagai hal. Sebagai contoh, demam tinggi saja sudah dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan bangkitan, terutama pada anak-anak. Hipoglikemia, cedera ginjal, gangguan hepar, sepsis, dan syok juga dapat menyebabkan penurunanan kesadaran.

 

”Diagnosis malaria didasarkan pada temuan klinis DAN parasitologis”

Diagnosis Klinis

 

Anamnesis

Keluhan utama: ada keluhan demam, menggigil, berkeringat

DAN

dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.

Adanya salah satu dari faktor-faktor risiko berikut dapat mengarahkan diagnosis ke arah malaria:

1.riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria;

2.riwayat tinggal di daerah endemik malaria;

3.riwayat sakit malaria/riwayat demam;

4.riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir; dan atau

5.riwayat mendapat transfusi darah

 

Pemeriksaan Fisik

1.Demam (suhu badan >37,5 ÂșC pada pengukuran di aksila)

2.Konjungtiva atau telapak tangan pucat (pada keadaan kronis)

3.Pembesaran limpa/splenomegali (pada keadaan kronis)

4.Pembesaran hepar/hepatomegali (pada keadaan kronis)

5.Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran, demam tinggi, ikterik, oliguria, urin berwarna coklat kehitaman (Black Water Fever), kejang, dan sangat lemah (prostration).

 

Ditambah Diagnosis Parasitologis

Pemeriksaan Laboratorium

1.Pemeriksaan mikroskopik untuk parasit malaria positif.

2.Pemeriksaan diagnostik cepat untuk malaria positif.

 

Terapi

Pemberian Obat Antimalaria

Lini Pertama

Pada kasus malaria berat, OAM yang diberikan ialah artesunat intravena dengan dosis 2,4 mg/kgBB, pada jam ke-0, jam ke-12, dan jam ke-24 lalu dapat diteruskan setiap 24 jam sampai pasien sadar/membaik. Apabila pasien sudah mampu minum obat, obat suntikan dihentikan (tetapi setelah menerima minimal tiga kali suntikan), dan dilanjutkan dengan obat ACT oral dosis lengkap tiga hari. Pada ibu hamil dengan malaria berat, pengobatan sama dengan memakai artesunat dari trimester 1 sampai trimester 3.

Artemeter injeksi intramuskular adalah obat pilihan ke dua setelah artesunat. Dosisnya 3,2 mg/kgBB pada hari ke-1 , dan setelah 24 jam menjadi 1,6 mg/kgBB. Dosis artesunat pada anak dengan berat badan lebih kurang daripada 20kg diharuskan menggunakan dosis 3 mg/kgBB hari.

Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan artesunat injeksi sebagai dosis awal sebelum merujuk ke rumah sakit rujukan. Obat kina HCl per infus dipakai bila tidak ada obat artesunat ataupun artemeter.


Sediaan artesunat parenteral adalah dalam bentuk vial yang berisi 60mg serbuk kering asam artesunik ditambah pelarutnya dalam ampul yang berisi 0,6ml natrium bikarbonat 5%.

-Larutan obat dibuat dengan mencampur 60mg serbuk kering dengan pelarutnya. Selanjutnya, tambahkan 3 – 5ml cairan dekstrosa 5%.

-Artesunat diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgBB intravena sebanyak tiga kali, yaitu pada jam ke-0, 12, dan 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgBB intravena setiap 24 jam sampai pasien mampu minum obat.

-Larutan artesunat ini juga bisa diberikan secara intramuskular dengan dosis yang sama.

-Apabila pasien sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihidroartemisinin + piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari.

-Pada pasien anak di bawah 20kg dosis artesunatnya menjadi 3mg/kgBB/kali.

 

Lini ke dua

Kina per infus merupakan obat lini ke dua untuk malaria berat. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina hidroklorida 25%.

Dosis dan cara pemberian kina pada orang dewasa termasuk untuk ibu hamil :

-Dosis awal: 20 mg/kgBB dilarutkan dalam 500ml dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama.

-Selanjutnya selama 4 jam ke dua hanya diberikan cairan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.

-Setelah itu, diberikan kina dengan dosis rumatan 10mg/kgBB dalam larutan 500ml dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% selama 4 jam.

-Empat jam selanjutnya, hanya diberikan lagi cairan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.

-Setelah itu diberikan lagi dosis rumatan seperti di atas sampai pasien mampu minum kina per oral.

-Apabila sudah sadar atau dapat minum, obat pemberian kina intravena diganti dengan kina tablet per oral dengan dosis 10 mg/kgBB/kali, pemberian tiga kali per hari (dengan dosis total 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang pertama).

 

Dosis anak-anak :

-Dosis 10mg/kgBB (jika umur <2bulan dosis menjadi 6 – 8 mg/kgBB) diencerkan dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5 – 10ml/kgBB diberikan selama 4 jam.

-Diulang setiap 8 jam sampai penderita sadar dan dapat minum obat.

 

Keterangan:

-Kina tidak boleh diberikan secara bolus intravena karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian.

-Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.

-Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB.

-Dosis kina maksimum untuk orang dewasa adalah 2000 mg/hari.

-Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan pemberiannya dalam dekstrosa 5%.

 

Penatalaksanaan Suportif

Penatalaksanaan malaria serebral mirip dengan penatalaksanaan malaria berat lainnya. Kebanyakan malaria berat melibatkan beberapa organ. Dengan demikian saat kita menemukan malaria serebral, kita perlu juga mencari organ lain yang terganggu lalu melakukan penanganan secara menyeluruh.

Pada pasien dengan penurunan kesadaran yang tidak mampu mempertahankan jalan nafasnya perlu dipertimbangkan untuk pemasangan support ventilator , pasien dengan tanda peningkatan tekanan intracranial diperlukan hiperventilasi. Sedangkan pasien yang sangat gelisah atau agitasi bahkan bisa sampai melukai dirinya bisa dipertimbangkan pemberian Haloperidol dengan pemberian titrasi dari dosis paling rendah bisa diberikan haloperidol dengan dosis 5-10 mg IM/IV pemberiannya harus dengan monitoring ketat,

Timbulnya kejang akan memperburuk diagnosis pemberian golongan bensodiazepin seperti diazepam sebagai obat lini pertama, jika dengan pemberian diazepam belum tertangani bisa diberikan fenitoin intravena dengan dosis 15-18mg/KgBB dengan kesecapatan pemberian 50 mg/menit dan atau bolus fenobarbital 10-15mg/kgBB intravena dengan kecepatanj pemberian 100mg/menit. Jika masih gagal bisa diberikan dengan anestesi umum dengan pemberian Midazolam atau Propofol atau tiopental dititrasi sampai Status epilepticus berhenti.  

Hati-hati pasien mengalami hipoglokemia apalagi pada pasien dengan pemberian terapi kina. Hipoglikemia akan memperburuk kesadaran, kejang atau syok sampi koma.

Prognosis malaria serebral tanpa terapi umumnya fatal. Pada anak, angka kematian akibat malaria serebral masih mencapai 15-20% meskipun sudah diberikan OAM (golongan kuinolin atau artemisinin). Mortalitasnya lebih rendah pada orang dewasa yang menerima terapi artesunat.

Laporan Kasus 

1.1  Identitas Pasien

·       Nama        : Tn. X

·       Sex            : Laki-laki

·       Umur         : 36 tahun

·       BB             : 60 kg

·       RM            : 43.xx.xx

·       Diagnosa   : Penurunan kesadaran ec. Malaria serebral

 

1.2  Perjalanan Penyakit

Anamnesis

Pasien mengalami penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, Riwayat berobat ke puskesmas dan mendapat terapi DHP dan Primaquin selama 2 hari. Riwayat perjalanan ke Jayapura selama sekitar 1 bulan.

IGD RSUD Wamena (13/11/2021)

Pasien dengan distress nafas RR 30-35x/m Rhonki -/-, Whezeng -/-, Saturasi perifer terbaca 90-93% dengan masker O2 21 %.

Perfusi hangat nadi 114 x/m tekanan darah 84/50 mmHg

Kesadaran 235 pupil bulat isokor 3/3 mm, Suhu 38,9 0C

Buang air kecil terpasang kateter, kinisial urin 100 ml, kuning pekat

Abdomen soepel, bising usus positif, hepar dan lien tidak teraba.

Edema ekstremitas tidak ada.

Hasil Laboratorium

Hb : 6.6, Hct : 18.9, Leukosit : 23.320, Trombosit: 54.000, GDS : 137, Ureum : 477,1, BUN : 208,9, Kreatinin : 5.3, Asam Urat : 18, SGOT : 139.5, SGPT : 87.4, Bilirubin Total : 27.9, Bilirubin Direk : 7.4, Bilirubin Indirek : 20.5, Na : 135.7, K : 4.74, Cl : 114.8

DDR : Plasmodium Falciparum (++++), GF (++)

Diagnosis : Malaria serebral+  AKI+Anemia+ Leukositosis+ Trombositopenia+ Sepsis?

Terapi :

          O2 nasal kanul 3-4 Liter

          Infus NaCl 0,9% loading 1000 ml dalam 30 menit

          IVFD Nacl 0.9% : D5 1:1

          Injeksi Artesunat 2 Vial ( 120 mg)/IV pada jam 0-12-24

          Inj. Cefotaxim 1 gr/8 Jam/IV

          Inj. Omeprazole 40 mg/24 Jam/IV

          Inj. Antrain 1 gr/8 jam/IV

          Konsul perawatan ICU

          Inj. ATS 1 ampul i.v.

          Pasang NGT

          Diet Sonde

14/11/2021 ( ICU RSUD Wamena)

B1      :

Airway : bebas

Breathing: Spontan respirasi 30-35 x/m, simetris, suara nafas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/- SpO2 97-100 % O2 Simple Mask 6-8 lpm

B2      :

Perfusi hangat, CRT < 2”, Nadi 114x/m; TD 96/50(68) mmHg

B3      :

GCS 235 pupil bulat isokor 3/3mm, Suhu 38.5 0C

B4      :

BAK terpasang kateter, Produksi urin 500 ml dalam 24 jam warna kuning pekat

B5      :

Abdomen supel BU (+)

B6      :

Edema -/-

 

Assesment : Penurunan Kesadaran ec Malaria Serebral + AKI + Anemia + Trombositopenia

Planning:

          O2 NRM 8-10 lpm

          Posisi head up 300

-       Infus loading RL 1000 ml dalam 20 menit

          Infus Nacl 0.9% : D5 2:2  / 2000 ml /24 jam

          Inj. Antrain 1 gr/8 jam/iv.

          Inj. Artesunat 120 mg 0-12-24 kemudian lanjut artesunate 120 mg/24 jam/iv

          Inj. Omeprazole 40 mg/ 12 jam /iv

          Inj. Cefotaxime 1 gr/8 jam/iv

          Diet susu 4x100 ml via NGT cek retensi

          Monitoring Vital sign dan Produksi Urin

          Transfusi PRC 2 kolf/hari

          KIE keluarga kondisi pasien memburuk dan pertimbangan pemasangan ventilator ( keluarga masih berunding)

15/11/2021 ( ICU RSUD Wamena)

B1      :

Airway : bebas

Breathing: Spontan respirasi 30-35 x/m, simetris, suara nafas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/- SpO2 97-100 % O2 NRM 8-10 lpm

B2      :

Perfusi hangat, CRT < 2”, Nadi 114x/m; TD 111/65 mmHg

B3      :

GCS 235 pupil bulat isokor 3/3mm, Suhu 37.8 0C

B4      :

BAK terpasang kateter, Produksi urin 3900 ml dalam 24 jam warna kuning pekat

B5      :

Abdomen supel BU (+)

B6      :

Edema -/-

Assesment : Penurunan Kesadaran ec Malaria Serebral + AKI + Anemia + Trombositopenia

Planning:

          O2 NRM 8-10 lpm

          Posisi head up 300

          Infus Nacl 0.9% : D5 2:2  / 2000 ml /24 jam

          Paracetamol drip 1 gr/8 jam/iv.

          Inj. Artesunat 120 mg/24 jam/iv

          Inj. Omeprazole 40 mg/ 12 jam /iv

          Inj. Cefotaxime 1 gr/8 jam/iv

          Diet susu 4x150 ml via NGT cek retensi

          Monitoring Vital sign dan Produksi Urin

          Transfusi PRC 2 kolf/hari ( pemberian darah masih tunda)

          KIE keluarga kondisi pasien memburuk dan pertimbangan pemasangan ventilator ( keluarga masih berunding)





No comments:

Post a Comment