Kabupaten/kota endemis tinggi malaria masih terkonsentrasi di Indonesia bagian timur, diantaranya Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, masih ada satu provinsi di luar wilayah timur yang memiliki kabupaten endemis tinggi, yaitu Kabupaten Penajaman Paser Utara, Kalimantan Timur.Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, sekitar 86% kasus malaria terjadi di Provinsi Papua dengan jumlah 216.380 kasus di tahun 2019. Di Kabupaten Jayawijaya sendiri pasien Malaria biasanya muncul pada pasien-pasien dengan Riwayat perjalanan ke daerah-daerah panas atau pantai seperti Jayapura dan daerah panas lainnya.
Malaria serebral adalah komplikasi neurologis yang
paling parah yang disebabkan malaria Plasmodium falciparum. Mortalitas yang
tinggi dan beberapa pasien yang bertahan hidup mengalami kerusakan otak yang
menyebabkan gangguan kognitif jangka Panjang. Malaria serebral menyebabkan ensphalopati
reversible yang difus yang ditandai dengan penurunan kesadaran dan kejang. Pada
beberapa penelitian sitokin berperan padsa kondisi ini. Pada anak-anak di
Afrika konsentrasi kadar sitokin plasma lebih tinggi pada pada pasien yang
meninggal akibat malaria serebral dibandingkan yang tidak dan lebih tinggi pada
pasien yang mengalami malaria serebral disbanding dengan pasien yang tidak
mengalami komplikasi.
Parasit malaria merupakan penyebab dari malaria
suatu parasite yang termasuk dalam filum apicomplexa. Seperti halnya parasit
toksoplasma. Sekitar 100 spesies plasmodium telah diidentifikasi tetapi hanya
ada lima spesies yang dilaporkan menginfeksi manusia, yaitu:
- Plasmodium
falciparum.
- Plasmodium
vivax.
- Plasmodium
ovale.
- Plasmodium
malariae.
- Plasmodium knowlesi.
Jenis plasmodium yang banyak
ditemukan di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax. Plasmodium
falciparum adalah penyebab utama malaria berat, termasuk malaria serebral.
(Sumber : CDC (2017))
Malaria tropika atau
disebut juga dengan malaria falciparum merupakan penyebab malaria serebral yang
paling banyak meski beberapa kasus ditemukan disebabkan oleh plasmodium vivax. Faktor
parasit yang mempengaruhi patogenesis adalah intensitas transmisi, densitas
parasit, dan virulensi parasit. Sedangkan faktor pejamu adalah tingkat
endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, umur, status nutrisi, dan status
imunologi.
Teori mekanik yang
merupakan hipotesis yang banyak diterima untuk menjelaskan pathogenesis terjadinya
malaria serebral memeliki beberapa fenomena.
1.
Sitoadherensi
yaitu peristiwa
melekatnya parasit dalam eritrosit stadium matur pada permukaan endotel
vaskular. Pada kondisi ini eritrosit yang terinfeksi parasite akan membentuk knob
( peristiwa knobing ), pada permukaan knob terdapat molekul-molekul adhesif
yang akan melekat dengan molekul-molekul adhesive yang berada pada permukaan endotel
pembuluh darah kapiler.
2.
Sekuesterasi
Eritrosit yang
bersirkulasi hingga ke tingkat kapilar seharusnya masuk ke vena dan terus
beredar dalam sirkulasi darah. Namun demikian, sitoadherensi menyebabkan
eritrosit tidak beredar kembali dan tertinggal di pembuluh kapilar. Sekuestrasi
menurunkan perfusi jaringan otak dan dapat menyebabkan penurunan kesadaran
melalui hipoksia. Penurunan perfusi jaringan otak juga menyebabkan peningkatan
aliran darah otak sebagai respons adaptif terhadap penurunan perfusi jaringan. Fenomena
sekuestrasi hanya terjadi pada eritrosit terinfeksi P. falciparum. Hal
inilah yang paling bertanggung jawab terhadap timbulnya malaria berat termasuk
malaria serebral. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua
jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak. Selanjutnya hepar
dan ginjal, paru jantung, usus, dan kulit
3.
Roseting
Selain melakukan sitoadherensi,
parasit dalam eritrosit stadium matur dapat juga membentuk kelompok dengan
eritosit-eritrosit lain yang tidak terinfeksi plasmodium. Fenomena ini disebut
pembentukan roset/roseting. Roseting berperan penting dalam virulensi parasit
dan ditemukan juga pada infeksi plasmodium yang lain.
Pada fenomena roseting, satu
eritrosit terinfeksi akan diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang tidak
terinfeksi. Pembentukan roset ini menyebabkan obstruksi atau perlambatan
sirkulasi darah setempat (dalam jaringan)
sehingga mempermudah terjadinya sitoadherensi. Pembentukan roset sendiri dapat
dihambat oleh antibodi Plasmodium falciparum histidine rich protein-1 (Pf.HRP-1).
Selain roseting, kita
juga mengenal istilah lain dalam patogenesis malaria tropika yaitu aglutinasi.
Aglutinasi adalah perlekatan dua atau lebih eritrosit yang sudah terinfeksi parasite.
Selain hipotesis mekanik,
kita juga mengenal hipotesis sitokin dan kemokin. Kedua teori ini dapat saling
melengkapi. Sitokin dan kemokin memiliki peran yang rumit dalam patogenesis
malaria serebral.
Sitodherensi selain
menyebabkan sekuestrasi, juga akan menyebabkan EP berkontak dengan sel endotel.
Kontak ini akan memicu cedera/disfungsi endotel lalu mengaktivasi endotel.
Aktivasi endotel ini memulai suatu kaskade peristiwa yang salah satunya akan
berujung pada apoptosis sel pejamu dengan diawali oleh apoptosis sel-sel
endotel sendiri. Selain interaksi dengan endotel, EP juga berinteraksi dengan
platelet. Interaksi ini memperparah cedera endotel melalui efek sitotoksik
langsung.
Setelah di endotel,
apoptosis selanjutnya terjadi pada neuron dan sel glia oleh berbagai mekanisme.
Neuron dan sel glia akan terpapar langsung dengan sitokin-sitokin proinflamasi.
Hal ini dimungkinkan karena reaksi inflamasi juga menyebabkan gangguan sawar
darah otak. Selain itu, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, keadaan
iskemia yang disebabkan oleh sekuestrasi akan menyebabkan fenomena
eksitotoksisitas. Fenomena ini dipicu oleh peningkatan sekresi glutamat (yang
memang akan meningkat pada keadaan iskemia otak) dan aktivasi reseptor-reseptor
patologisnya di neuron seperti NMDA maupun karena adanya produk reaksi
inflamasi seperti asam kuinolinat yang bersifat eksitotoksik. Mikroglia dan
neuron juga mensekresikan NO pada keadaan iskemia yang turut memicu apotosis.
Manifestasi klinis
Pada malaria serebral ditandai
dengan manifestasi neuropsikiatrik . Manifestasi
malaria serebral (MS) pada awalnya seperti gejala malaria tropika pada umumnya,
seperti demam tinggi (>40°) biasanya tidak teratur dan tidak timbul secara
periodic disertai menggigil. Sebagai gejala utama pada MS adalah penurunan
derajat kesadaran dari ringan sampai berat mulai dari apati, somnolen,
delirium, stupor sampai koma. Gejala neurologi lain adalah nyeri kepala, mual,
muntah, kejang, paresa/ plegia, afasia, ketulian, kaku kuduk, tremor, korea,
athetosis dan psikosis. Pada pemeriksaan neurologis klinis lain didapatkan
perdarahan retina tanpa edema pupil pada 15 % sampai 28 % kasus pasien, reflek tendon
dan tonus otot bervariasi, respon ekstensi plantar dan klonus akiles positif,
reflek kulit dinding abdomen tidak ada. Pada MS juga dijumpai manifestasi
klinik yang lazim terdapat pada malaria tropika seperti splenomegali,
hepatomegali, ikterus, anemia, hemoglobinuri dan gagal jantung.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan
parasit plasmodium melalui sediaan tetes tebal atau hapusan darah. Hemoglobin menurun,
lekosit meningkat, ureum kreatinin meningkat, glukosa darah menurun dan
gangguan fungsi hati.
Tetes/hapusan darah tebal:
Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah
cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya
untuk penelitian di lapangan. Membuat ketebalan sediaan yang ideal sangat
penting guna memudahkan identifikasi parasit .
Tetes/hapusan darah tipis: Digunakan
untuk identifikasi jenis plasmodium .
Pungsi lumbal dan analisis CSS
bermanfaat terutama untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi otak.
Pemeriksaan ini perlu dikerjakan jika kita mendiagnosis banding malaria
serebral dengan infeksi otak. Tentu pemeriksaan ini harus memperhatikan adanya
kontraindikasi.
Diagnosis malaria serebral secara
umum dibuat jika ditemukan penurunan kesadaran atau bangkitan pada pasien
malaria (terutama falsiparum). Namun demikian, perlu diingat bahwa pada
daerah-daerah endemik dengan angka hiperparasitemia asimtomatik yang tinggi,
harus dipertimbangkan juga penurunan kesadaran atau bangkitan karena sebab yang
lain. Terutama pada pasien-pasien yang datang dengan penurunan kesadaran atau
bangkitan tanpa episode demam-menggigil-berkeringat. Selain itu, perlu diingat
bahwa penyebab gangguan otak dapat terjadi akibat berbagai hal. Sebagai contoh,
demam tinggi saja sudah dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan bangkitan,
terutama pada anak-anak. Hipoglikemia, cedera ginjal, gangguan hepar, sepsis,
dan syok juga dapat menyebabkan penurunanan kesadaran.
”Diagnosis malaria didasarkan pada temuan klinis DAN
parasitologis”
Diagnosis Klinis
Anamnesis
Keluhan utama: ada keluhan demam, menggigil, berkeringat
DAN
dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot
atau pegal-pegal.
Adanya salah satu dari faktor-faktor risiko berikut dapat
mengarahkan diagnosis ke arah malaria:
1.riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria;
2.riwayat tinggal di daerah endemik malaria;
3.riwayat sakit malaria/riwayat demam;
4.riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir; dan atau
5.riwayat mendapat transfusi darah
Pemeriksaan Fisik
1.Demam (suhu badan >37,5 ÂșC pada pengukuran di aksila)
2.Konjungtiva atau telapak tangan pucat (pada keadaan kronis)
3.Pembesaran limpa/splenomegali (pada keadaan kronis)
4.Pembesaran hepar/hepatomegali (pada keadaan kronis)
5.Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran,
demam tinggi, ikterik, oliguria, urin berwarna coklat kehitaman (Black
Water Fever), kejang, dan sangat lemah (prostration).
Ditambah Diagnosis Parasitologis
Pemeriksaan Laboratorium
1.Pemeriksaan mikroskopik untuk parasit malaria positif.
2.Pemeriksaan diagnostik cepat untuk malaria positif.
Terapi
Pemberian Obat Antimalaria
Lini Pertama
Pada kasus malaria berat, OAM yang
diberikan ialah artesunat intravena dengan dosis 2,4 mg/kgBB, pada jam ke-0,
jam ke-12, dan jam ke-24 lalu dapat diteruskan setiap 24 jam sampai pasien
sadar/membaik. Apabila pasien sudah mampu minum obat, obat suntikan dihentikan
(tetapi setelah menerima minimal tiga kali suntikan), dan dilanjutkan dengan
obat ACT oral dosis lengkap tiga hari. Pada ibu hamil dengan malaria berat,
pengobatan sama dengan memakai artesunat dari trimester 1 sampai trimester 3.
Artemeter injeksi intramuskular
adalah obat pilihan ke dua setelah artesunat. Dosisnya 3,2 mg/kgBB pada hari
ke-1 , dan setelah 24 jam menjadi 1,6 mg/kgBB. Dosis artesunat pada anak dengan
berat badan lebih kurang daripada 20kg diharuskan menggunakan dosis 3 mg/kgBB
hari.
Pengobatan malaria
berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan artesunat injeksi
sebagai dosis awal sebelum merujuk ke rumah sakit rujukan. Obat kina HCl per
infus dipakai bila tidak ada obat artesunat ataupun artemeter.
Sediaan artesunat
parenteral adalah dalam bentuk vial yang berisi 60mg serbuk kering asam
artesunik ditambah pelarutnya dalam ampul yang berisi 0,6ml natrium bikarbonat
5%.
-Larutan obat dibuat
dengan mencampur 60mg serbuk kering dengan pelarutnya. Selanjutnya, tambahkan 3
– 5ml cairan dekstrosa 5%.
-Artesunat diberikan
dengan dosis 2,4 mg/kgBB intravena sebanyak tiga kali, yaitu pada jam ke-0, 12,
dan 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgBB intravena setiap 24 jam sampai pasien
mampu minum obat.
-Larutan artesunat ini
juga bisa diberikan secara intramuskular dengan dosis yang sama.
-Apabila pasien sudah
dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihidroartemisinin
+ piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari.
-Pada pasien anak di
bawah 20kg dosis artesunatnya menjadi 3mg/kgBB/kali.
Lini ke dua
Kina per infus merupakan obat lini
ke dua untuk malaria berat. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina
hidroklorida 25%.
Dosis
dan cara pemberian kina pada orang dewasa termasuk untuk ibu hamil :
-Dosis awal: 20 mg/kgBB
dilarutkan dalam 500ml dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam
pertama.
-Selanjutnya selama 4
jam ke dua hanya diberikan cairan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
-Setelah itu, diberikan
kina dengan dosis rumatan 10mg/kgBB dalam larutan 500ml dekstrosa 5% atau NaCl
0,9% selama 4 jam.
-Empat jam selanjutnya,
hanya diberikan lagi cairan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
-Setelah itu diberikan
lagi dosis rumatan seperti di atas sampai pasien mampu minum kina per oral.
-Apabila sudah sadar
atau dapat minum, obat pemberian kina intravena diganti dengan kina tablet per
oral dengan dosis 10 mg/kgBB/kali, pemberian tiga kali per hari (dengan dosis
total 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang pertama).
Dosis
anak-anak :
-Dosis 10mg/kgBB (jika
umur <2bulan dosis menjadi 6 – 8 mg/kgBB) diencerkan dengan dekstrosa 5%
atau NaCl 0,9% sebanyak 5 – 10ml/kgBB diberikan selama 4 jam.
-Diulang setiap 8 jam
sampai penderita sadar dan dapat minum obat.
Keterangan:
-Kina tidak boleh
diberikan secara bolus intravena karena toksik bagi jantung dan dapat
menimbulkan kematian.
-Pada penderita dengan
gagal ginjal, dosis rumatan kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
-Pada hari pertama
pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB.
-Dosis kina maksimum
untuk orang dewasa adalah 2000 mg/hari.
-Hipoglikemia dapat
terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan pemberiannya
dalam dekstrosa 5%.
Penatalaksanaan Suportif
Penatalaksanaan malaria serebral
mirip dengan penatalaksanaan malaria berat lainnya. Kebanyakan malaria berat
melibatkan beberapa organ. Dengan demikian saat kita menemukan malaria
serebral, kita perlu juga mencari organ lain yang terganggu lalu melakukan
penanganan secara menyeluruh.
Pada pasien dengan
penurunan kesadaran yang tidak mampu mempertahankan jalan nafasnya perlu
dipertimbangkan untuk pemasangan support ventilator , pasien dengan tanda
peningkatan tekanan intracranial diperlukan hiperventilasi. Sedangkan pasien
yang sangat gelisah atau agitasi bahkan bisa sampai melukai dirinya bisa dipertimbangkan
pemberian Haloperidol dengan pemberian titrasi dari dosis paling rendah bisa
diberikan haloperidol dengan dosis 5-10 mg IM/IV pemberiannya harus dengan monitoring
ketat,
Timbulnya kejang akan
memperburuk diagnosis pemberian golongan bensodiazepin seperti diazepam sebagai
obat lini pertama, jika dengan pemberian diazepam belum tertangani bisa
diberikan fenitoin intravena dengan dosis 15-18mg/KgBB dengan kesecapatan
pemberian 50 mg/menit dan atau bolus fenobarbital 10-15mg/kgBB intravena dengan
kecepatanj pemberian 100mg/menit. Jika masih gagal bisa diberikan dengan
anestesi umum dengan pemberian Midazolam atau Propofol atau tiopental dititrasi
sampai Status epilepticus berhenti.
Hati-hati pasien
mengalami hipoglokemia apalagi pada pasien dengan pemberian terapi kina. Hipoglikemia
akan memperburuk kesadaran, kejang atau syok sampi koma.
Prognosis malaria
serebral tanpa terapi umumnya fatal. Pada anak, angka kematian akibat malaria
serebral masih mencapai 15-20% meskipun sudah diberikan OAM (golongan kuinolin
atau artemisinin). Mortalitasnya lebih rendah pada orang dewasa yang menerima
terapi artesunat.
Laporan Kasus
1.1 Identitas Pasien
· Nama : Tn. X
· Sex : Laki-laki
· Umur :
36 tahun
· BB :
60 kg
· RM :
43.xx.xx
·
Diagnosa : Penurunan kesadaran ec. Malaria serebral
1.2 Perjalanan Penyakit
Anamnesis
Pasien mengalami penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, Riwayat berobat ke puskesmas dan mendapat terapi DHP dan Primaquin selama 2 hari. Riwayat perjalanan ke Jayapura selama sekitar 1 bulan.
IGD RSUD Wamena (13/11/2021)
Pasien
dengan distress nafas RR 30-35x/m Rhonki -/-, Whezeng -/-, Saturasi perifer
terbaca 90-93% dengan masker O2 21 %.
Perfusi
hangat nadi 114 x/m tekanan darah 84/50 mmHg
Kesadaran
235 pupil bulat isokor 3/3 mm, Suhu 38,9 0C
Buang
air kecil terpasang kateter, kinisial urin 100 ml, kuning pekat
Abdomen
soepel, bising usus positif, hepar dan lien tidak teraba.
Edema
ekstremitas tidak ada.
Hasil
Laboratorium
Hb : 6.6, Hct : 18.9, Leukosit : 23.320, Trombosit: 54.000, GDS : 137, Ureum : 477,1, BUN : 208,9, Kreatinin : 5.3, Asam Urat : 18, SGOT : 139.5, SGPT : 87.4, Bilirubin Total : 27.9, Bilirubin Direk : 7.4, Bilirubin Indirek : 20.5, Na : 135.7, K : 4.74, Cl : 114.8
DDR
: Plasmodium Falciparum (++++), GF (++)
Diagnosis : Malaria serebral+ AKI+Anemia+ Leukositosis+ Trombositopenia+ Sepsis?
Terapi
:
‐
O2 nasal kanul 3-4 Liter
‐
Infus NaCl 0,9% loading 1000 ml
dalam 30 menit
‐
IVFD Nacl 0.9% : D5 1:1
‐
Injeksi Artesunat 2 Vial ( 120
mg)/IV pada jam 0-12-24
‐
Inj. Cefotaxim 1 gr/8 Jam/IV
‐
Inj. Omeprazole 40 mg/24 Jam/IV
‐
Inj. Antrain 1 gr/8 jam/IV
‐
Konsul perawatan ICU
‐
Inj. ATS 1 ampul i.v.
‐
Pasang NGT
‐ Diet Sonde
14/11/2021 ( ICU RSUD Wamena)
B1 : |
Airway
: bebas Breathing:
Spontan respirasi 30-35 x/m, simetris, suara nafas vesikuler, Rhonki -/-,
wheezing -/- SpO2 97-100 % O2 Simple Mask 6-8 lpm |
B2 : |
Perfusi
hangat, CRT < 2”, Nadi 114x/m; TD 96/50(68) mmHg |
B3 : |
GCS
235 pupil bulat isokor 3/3mm, Suhu 38.5 0C |
B4 : |
BAK
terpasang kateter, Produksi urin 500 ml dalam 24 jam warna kuning pekat |
B5 : |
Abdomen
supel BU (+) |
B6 : |
Edema
-/- |
Assesment
: Penurunan Kesadaran ec Malaria Serebral + AKI + Anemia + Trombositopenia
Planning:
‐
O2 NRM 8-10
lpm
‐
Posisi head up 300
-
Infus loading RL 1000
ml dalam 20 menit
‐
Infus Nacl 0.9% : D5
2:2 / 2000 ml /24 jam
‐
Inj. Antrain 1 gr/8
jam/iv.
‐
Inj. Artesunat 120 mg
0-12-24 kemudian lanjut artesunate 120 mg/24 jam/iv
‐
Inj. Omeprazole 40 mg/
12 jam /iv
‐
Inj. Cefotaxime 1 gr/8
jam/iv
‐
Diet susu 4x100 ml via
NGT cek retensi
‐
Monitoring Vital sign
dan Produksi Urin
‐
Transfusi PRC 2
kolf/hari
‐ KIE keluarga kondisi pasien memburuk dan pertimbangan pemasangan ventilator ( keluarga masih berunding)
15/11/2021 ( ICU RSUD Wamena)
B1 : |
Airway
: bebas Breathing:
Spontan respirasi 30-35 x/m, simetris, suara nafas vesikuler, Rhonki -/-,
wheezing -/- SpO2 97-100 % O2 NRM 8-10 lpm |
B2 : |
Perfusi
hangat, CRT < 2”, Nadi 114x/m; TD 111/65 mmHg |
B3 : |
GCS
235 pupil bulat isokor 3/3mm, Suhu 37.8 0C |
B4 : |
BAK
terpasang kateter, Produksi urin 3900 ml dalam 24 jam warna kuning pekat |
B5 : |
Abdomen
supel BU (+) |
B6 : |
Edema
-/- |
Assesment
: Penurunan Kesadaran ec Malaria Serebral + AKI + Anemia + Trombositopenia
Planning:
‐
O2 NRM 8-10
lpm
‐
Posisi head up 300
‐
Infus Nacl 0.9% : D5
2:2 / 2000 ml /24 jam
‐
Paracetamol drip 1
gr/8 jam/iv.
‐
Inj. Artesunat 120
mg/24 jam/iv
‐
Inj. Omeprazole 40 mg/
12 jam /iv
‐
Inj. Cefotaxime 1 gr/8
jam/iv
‐
Diet susu 4x150 ml via
NGT cek retensi
‐
Monitoring Vital sign
dan Produksi Urin
‐
Transfusi PRC 2
kolf/hari ( pemberian darah masih tunda)
‐
KIE keluarga kondisi
pasien memburuk dan pertimbangan pemasangan ventilator ( keluarga masih
berunding)
No comments:
Post a Comment