Perjalanan atau akses ke beberapa wilayah di Pedalaman Papua terutama daerah-daerah pegunungan masih banyak dengan moda transportasi udara. penerbangan dengan pesawat-pesawat kecil melewati celah gunung, lembah, sungai besar dan di atas belantara hutan. sensasi seperti itu cukup membuat adrenalin naik. sedangkan naik pesawat besar saja masih sering perasaan takut datang apalagi pesawat-pesawat kecil yang hanya berpenumpang beberapa orang saja.
Jendela Hati
Menggoreskan Jejak-Jejak Perjuangan, Melukis Perasaan....
Saturday, 20 November 2021
Merujuk Pasien dengan Pesawat Kecil di Pedalaman Papua
Perjalanan atau akses ke beberapa wilayah di Pedalaman Papua terutama daerah-daerah pegunungan masih banyak dengan moda transportasi udara. penerbangan dengan pesawat-pesawat kecil melewati celah gunung, lembah, sungai besar dan di atas belantara hutan. sensasi seperti itu cukup membuat adrenalin naik. sedangkan naik pesawat besar saja masih sering perasaan takut datang apalagi pesawat-pesawat kecil yang hanya berpenumpang beberapa orang saja.
Wednesday, 17 November 2021
Laporan Kasus Malaria Serebral
Kabupaten/kota endemis tinggi malaria masih terkonsentrasi di Indonesia bagian timur, diantaranya Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, masih ada satu provinsi di luar wilayah timur yang memiliki kabupaten endemis tinggi, yaitu Kabupaten Penajaman Paser Utara, Kalimantan Timur.Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, sekitar 86% kasus malaria terjadi di Provinsi Papua dengan jumlah 216.380 kasus di tahun 2019. Di Kabupaten Jayawijaya sendiri pasien Malaria biasanya muncul pada pasien-pasien dengan Riwayat perjalanan ke daerah-daerah panas atau pantai seperti Jayapura dan daerah panas lainnya.
Malaria serebral adalah komplikasi neurologis yang
paling parah yang disebabkan malaria Plasmodium falciparum. Mortalitas yang
tinggi dan beberapa pasien yang bertahan hidup mengalami kerusakan otak yang
menyebabkan gangguan kognitif jangka Panjang. Malaria serebral menyebabkan ensphalopati
reversible yang difus yang ditandai dengan penurunan kesadaran dan kejang. Pada
beberapa penelitian sitokin berperan padsa kondisi ini. Pada anak-anak di
Afrika konsentrasi kadar sitokin plasma lebih tinggi pada pada pasien yang
meninggal akibat malaria serebral dibandingkan yang tidak dan lebih tinggi pada
pasien yang mengalami malaria serebral disbanding dengan pasien yang tidak
mengalami komplikasi.
Parasit malaria merupakan penyebab dari malaria
suatu parasite yang termasuk dalam filum apicomplexa. Seperti halnya parasit
toksoplasma. Sekitar 100 spesies plasmodium telah diidentifikasi tetapi hanya
ada lima spesies yang dilaporkan menginfeksi manusia, yaitu:
- Plasmodium
falciparum.
- Plasmodium
vivax.
- Plasmodium
ovale.
- Plasmodium
malariae.
- Plasmodium knowlesi.
Jenis plasmodium yang banyak
ditemukan di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax. Plasmodium
falciparum adalah penyebab utama malaria berat, termasuk malaria serebral.
(Sumber : CDC (2017))
Malaria tropika atau
disebut juga dengan malaria falciparum merupakan penyebab malaria serebral yang
paling banyak meski beberapa kasus ditemukan disebabkan oleh plasmodium vivax. Faktor
parasit yang mempengaruhi patogenesis adalah intensitas transmisi, densitas
parasit, dan virulensi parasit. Sedangkan faktor pejamu adalah tingkat
endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, umur, status nutrisi, dan status
imunologi.
Teori mekanik yang
merupakan hipotesis yang banyak diterima untuk menjelaskan pathogenesis terjadinya
malaria serebral memeliki beberapa fenomena.
1.
Sitoadherensi
yaitu peristiwa
melekatnya parasit dalam eritrosit stadium matur pada permukaan endotel
vaskular. Pada kondisi ini eritrosit yang terinfeksi parasite akan membentuk knob
( peristiwa knobing ), pada permukaan knob terdapat molekul-molekul adhesif
yang akan melekat dengan molekul-molekul adhesive yang berada pada permukaan endotel
pembuluh darah kapiler.
2.
Sekuesterasi
Eritrosit yang
bersirkulasi hingga ke tingkat kapilar seharusnya masuk ke vena dan terus
beredar dalam sirkulasi darah. Namun demikian, sitoadherensi menyebabkan
eritrosit tidak beredar kembali dan tertinggal di pembuluh kapilar. Sekuestrasi
menurunkan perfusi jaringan otak dan dapat menyebabkan penurunan kesadaran
melalui hipoksia. Penurunan perfusi jaringan otak juga menyebabkan peningkatan
aliran darah otak sebagai respons adaptif terhadap penurunan perfusi jaringan. Fenomena
sekuestrasi hanya terjadi pada eritrosit terinfeksi P. falciparum. Hal
inilah yang paling bertanggung jawab terhadap timbulnya malaria berat termasuk
malaria serebral. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua
jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak. Selanjutnya hepar
dan ginjal, paru jantung, usus, dan kulit
3.
Roseting
Selain melakukan sitoadherensi,
parasit dalam eritrosit stadium matur dapat juga membentuk kelompok dengan
eritosit-eritrosit lain yang tidak terinfeksi plasmodium. Fenomena ini disebut
pembentukan roset/roseting. Roseting berperan penting dalam virulensi parasit
dan ditemukan juga pada infeksi plasmodium yang lain.
Pada fenomena roseting, satu
eritrosit terinfeksi akan diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang tidak
terinfeksi. Pembentukan roset ini menyebabkan obstruksi atau perlambatan
sirkulasi darah setempat (dalam jaringan)
sehingga mempermudah terjadinya sitoadherensi. Pembentukan roset sendiri dapat
dihambat oleh antibodi Plasmodium falciparum histidine rich protein-1 (Pf.HRP-1).
Selain roseting, kita
juga mengenal istilah lain dalam patogenesis malaria tropika yaitu aglutinasi.
Aglutinasi adalah perlekatan dua atau lebih eritrosit yang sudah terinfeksi parasite.
Selain hipotesis mekanik,
kita juga mengenal hipotesis sitokin dan kemokin. Kedua teori ini dapat saling
melengkapi. Sitokin dan kemokin memiliki peran yang rumit dalam patogenesis
malaria serebral.
Sitodherensi selain
menyebabkan sekuestrasi, juga akan menyebabkan EP berkontak dengan sel endotel.
Kontak ini akan memicu cedera/disfungsi endotel lalu mengaktivasi endotel.
Aktivasi endotel ini memulai suatu kaskade peristiwa yang salah satunya akan
berujung pada apoptosis sel pejamu dengan diawali oleh apoptosis sel-sel
endotel sendiri. Selain interaksi dengan endotel, EP juga berinteraksi dengan
platelet. Interaksi ini memperparah cedera endotel melalui efek sitotoksik
langsung.
Setelah di endotel,
apoptosis selanjutnya terjadi pada neuron dan sel glia oleh berbagai mekanisme.
Neuron dan sel glia akan terpapar langsung dengan sitokin-sitokin proinflamasi.
Hal ini dimungkinkan karena reaksi inflamasi juga menyebabkan gangguan sawar
darah otak. Selain itu, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, keadaan
iskemia yang disebabkan oleh sekuestrasi akan menyebabkan fenomena
eksitotoksisitas. Fenomena ini dipicu oleh peningkatan sekresi glutamat (yang
memang akan meningkat pada keadaan iskemia otak) dan aktivasi reseptor-reseptor
patologisnya di neuron seperti NMDA maupun karena adanya produk reaksi
inflamasi seperti asam kuinolinat yang bersifat eksitotoksik. Mikroglia dan
neuron juga mensekresikan NO pada keadaan iskemia yang turut memicu apotosis.
Manifestasi klinis
Pada malaria serebral ditandai
dengan manifestasi neuropsikiatrik . Manifestasi
malaria serebral (MS) pada awalnya seperti gejala malaria tropika pada umumnya,
seperti demam tinggi (>40°) biasanya tidak teratur dan tidak timbul secara
periodic disertai menggigil. Sebagai gejala utama pada MS adalah penurunan
derajat kesadaran dari ringan sampai berat mulai dari apati, somnolen,
delirium, stupor sampai koma. Gejala neurologi lain adalah nyeri kepala, mual,
muntah, kejang, paresa/ plegia, afasia, ketulian, kaku kuduk, tremor, korea,
athetosis dan psikosis. Pada pemeriksaan neurologis klinis lain didapatkan
perdarahan retina tanpa edema pupil pada 15 % sampai 28 % kasus pasien, reflek tendon
dan tonus otot bervariasi, respon ekstensi plantar dan klonus akiles positif,
reflek kulit dinding abdomen tidak ada. Pada MS juga dijumpai manifestasi
klinik yang lazim terdapat pada malaria tropika seperti splenomegali,
hepatomegali, ikterus, anemia, hemoglobinuri dan gagal jantung.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan
parasit plasmodium melalui sediaan tetes tebal atau hapusan darah. Hemoglobin menurun,
lekosit meningkat, ureum kreatinin meningkat, glukosa darah menurun dan
gangguan fungsi hati.
Tetes/hapusan darah tebal:
Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah
cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya
untuk penelitian di lapangan. Membuat ketebalan sediaan yang ideal sangat
penting guna memudahkan identifikasi parasit .
Tetes/hapusan darah tipis: Digunakan
untuk identifikasi jenis plasmodium .
Pungsi lumbal dan analisis CSS
bermanfaat terutama untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi otak.
Pemeriksaan ini perlu dikerjakan jika kita mendiagnosis banding malaria
serebral dengan infeksi otak. Tentu pemeriksaan ini harus memperhatikan adanya
kontraindikasi.
Diagnosis malaria serebral secara
umum dibuat jika ditemukan penurunan kesadaran atau bangkitan pada pasien
malaria (terutama falsiparum). Namun demikian, perlu diingat bahwa pada
daerah-daerah endemik dengan angka hiperparasitemia asimtomatik yang tinggi,
harus dipertimbangkan juga penurunan kesadaran atau bangkitan karena sebab yang
lain. Terutama pada pasien-pasien yang datang dengan penurunan kesadaran atau
bangkitan tanpa episode demam-menggigil-berkeringat. Selain itu, perlu diingat
bahwa penyebab gangguan otak dapat terjadi akibat berbagai hal. Sebagai contoh,
demam tinggi saja sudah dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan bangkitan,
terutama pada anak-anak. Hipoglikemia, cedera ginjal, gangguan hepar, sepsis,
dan syok juga dapat menyebabkan penurunanan kesadaran.
”Diagnosis malaria didasarkan pada temuan klinis DAN
parasitologis”
Diagnosis Klinis
Anamnesis
Keluhan utama: ada keluhan demam, menggigil, berkeringat
DAN
dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot
atau pegal-pegal.
Adanya salah satu dari faktor-faktor risiko berikut dapat
mengarahkan diagnosis ke arah malaria:
1.riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria;
2.riwayat tinggal di daerah endemik malaria;
3.riwayat sakit malaria/riwayat demam;
4.riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir; dan atau
5.riwayat mendapat transfusi darah
Pemeriksaan Fisik
1.Demam (suhu badan >37,5 ÂșC pada pengukuran di aksila)
2.Konjungtiva atau telapak tangan pucat (pada keadaan kronis)
3.Pembesaran limpa/splenomegali (pada keadaan kronis)
4.Pembesaran hepar/hepatomegali (pada keadaan kronis)
5.Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran,
demam tinggi, ikterik, oliguria, urin berwarna coklat kehitaman (Black
Water Fever), kejang, dan sangat lemah (prostration).
Ditambah Diagnosis Parasitologis
Pemeriksaan Laboratorium
1.Pemeriksaan mikroskopik untuk parasit malaria positif.
2.Pemeriksaan diagnostik cepat untuk malaria positif.
Terapi
Pemberian Obat Antimalaria
Lini Pertama
Pada kasus malaria berat, OAM yang
diberikan ialah artesunat intravena dengan dosis 2,4 mg/kgBB, pada jam ke-0,
jam ke-12, dan jam ke-24 lalu dapat diteruskan setiap 24 jam sampai pasien
sadar/membaik. Apabila pasien sudah mampu minum obat, obat suntikan dihentikan
(tetapi setelah menerima minimal tiga kali suntikan), dan dilanjutkan dengan
obat ACT oral dosis lengkap tiga hari. Pada ibu hamil dengan malaria berat,
pengobatan sama dengan memakai artesunat dari trimester 1 sampai trimester 3.
Artemeter injeksi intramuskular
adalah obat pilihan ke dua setelah artesunat. Dosisnya 3,2 mg/kgBB pada hari
ke-1 , dan setelah 24 jam menjadi 1,6 mg/kgBB. Dosis artesunat pada anak dengan
berat badan lebih kurang daripada 20kg diharuskan menggunakan dosis 3 mg/kgBB
hari.
Pengobatan malaria
berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan artesunat injeksi
sebagai dosis awal sebelum merujuk ke rumah sakit rujukan. Obat kina HCl per
infus dipakai bila tidak ada obat artesunat ataupun artemeter.
Sediaan artesunat
parenteral adalah dalam bentuk vial yang berisi 60mg serbuk kering asam
artesunik ditambah pelarutnya dalam ampul yang berisi 0,6ml natrium bikarbonat
5%.
-Larutan obat dibuat
dengan mencampur 60mg serbuk kering dengan pelarutnya. Selanjutnya, tambahkan 3
– 5ml cairan dekstrosa 5%.
-Artesunat diberikan
dengan dosis 2,4 mg/kgBB intravena sebanyak tiga kali, yaitu pada jam ke-0, 12,
dan 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgBB intravena setiap 24 jam sampai pasien
mampu minum obat.
-Larutan artesunat ini
juga bisa diberikan secara intramuskular dengan dosis yang sama.
-Apabila pasien sudah
dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihidroartemisinin
+ piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari.
-Pada pasien anak di
bawah 20kg dosis artesunatnya menjadi 3mg/kgBB/kali.
Lini ke dua
Kina per infus merupakan obat lini
ke dua untuk malaria berat. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina
hidroklorida 25%.
Dosis
dan cara pemberian kina pada orang dewasa termasuk untuk ibu hamil :
-Dosis awal: 20 mg/kgBB
dilarutkan dalam 500ml dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam
pertama.
-Selanjutnya selama 4
jam ke dua hanya diberikan cairan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
-Setelah itu, diberikan
kina dengan dosis rumatan 10mg/kgBB dalam larutan 500ml dekstrosa 5% atau NaCl
0,9% selama 4 jam.
-Empat jam selanjutnya,
hanya diberikan lagi cairan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
-Setelah itu diberikan
lagi dosis rumatan seperti di atas sampai pasien mampu minum kina per oral.
-Apabila sudah sadar
atau dapat minum, obat pemberian kina intravena diganti dengan kina tablet per
oral dengan dosis 10 mg/kgBB/kali, pemberian tiga kali per hari (dengan dosis
total 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang pertama).
Dosis
anak-anak :
-Dosis 10mg/kgBB (jika
umur <2bulan dosis menjadi 6 – 8 mg/kgBB) diencerkan dengan dekstrosa 5%
atau NaCl 0,9% sebanyak 5 – 10ml/kgBB diberikan selama 4 jam.
-Diulang setiap 8 jam
sampai penderita sadar dan dapat minum obat.
Keterangan:
-Kina tidak boleh
diberikan secara bolus intravena karena toksik bagi jantung dan dapat
menimbulkan kematian.
-Pada penderita dengan
gagal ginjal, dosis rumatan kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
-Pada hari pertama
pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB.
-Dosis kina maksimum
untuk orang dewasa adalah 2000 mg/hari.
-Hipoglikemia dapat
terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan pemberiannya
dalam dekstrosa 5%.
Penatalaksanaan Suportif
Penatalaksanaan malaria serebral
mirip dengan penatalaksanaan malaria berat lainnya. Kebanyakan malaria berat
melibatkan beberapa organ. Dengan demikian saat kita menemukan malaria
serebral, kita perlu juga mencari organ lain yang terganggu lalu melakukan
penanganan secara menyeluruh.
Pada pasien dengan
penurunan kesadaran yang tidak mampu mempertahankan jalan nafasnya perlu
dipertimbangkan untuk pemasangan support ventilator , pasien dengan tanda
peningkatan tekanan intracranial diperlukan hiperventilasi. Sedangkan pasien
yang sangat gelisah atau agitasi bahkan bisa sampai melukai dirinya bisa dipertimbangkan
pemberian Haloperidol dengan pemberian titrasi dari dosis paling rendah bisa
diberikan haloperidol dengan dosis 5-10 mg IM/IV pemberiannya harus dengan monitoring
ketat,
Timbulnya kejang akan
memperburuk diagnosis pemberian golongan bensodiazepin seperti diazepam sebagai
obat lini pertama, jika dengan pemberian diazepam belum tertangani bisa
diberikan fenitoin intravena dengan dosis 15-18mg/KgBB dengan kesecapatan
pemberian 50 mg/menit dan atau bolus fenobarbital 10-15mg/kgBB intravena dengan
kecepatanj pemberian 100mg/menit. Jika masih gagal bisa diberikan dengan
anestesi umum dengan pemberian Midazolam atau Propofol atau tiopental dititrasi
sampai Status epilepticus berhenti.
Hati-hati pasien
mengalami hipoglokemia apalagi pada pasien dengan pemberian terapi kina. Hipoglikemia
akan memperburuk kesadaran, kejang atau syok sampi koma.
Prognosis malaria
serebral tanpa terapi umumnya fatal. Pada anak, angka kematian akibat malaria
serebral masih mencapai 15-20% meskipun sudah diberikan OAM (golongan kuinolin
atau artemisinin). Mortalitasnya lebih rendah pada orang dewasa yang menerima
terapi artesunat.
Laporan Kasus
1.1 Identitas Pasien
· Nama : Tn. X
· Sex : Laki-laki
· Umur :
36 tahun
· BB :
60 kg
· RM :
43.xx.xx
·
Diagnosa : Penurunan kesadaran ec. Malaria serebral
1.2 Perjalanan Penyakit
Anamnesis
Pasien mengalami penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, Riwayat berobat ke puskesmas dan mendapat terapi DHP dan Primaquin selama 2 hari. Riwayat perjalanan ke Jayapura selama sekitar 1 bulan.
IGD RSUD Wamena (13/11/2021)
Pasien
dengan distress nafas RR 30-35x/m Rhonki -/-, Whezeng -/-, Saturasi perifer
terbaca 90-93% dengan masker O2 21 %.
Perfusi
hangat nadi 114 x/m tekanan darah 84/50 mmHg
Kesadaran
235 pupil bulat isokor 3/3 mm, Suhu 38,9 0C
Buang
air kecil terpasang kateter, kinisial urin 100 ml, kuning pekat
Abdomen
soepel, bising usus positif, hepar dan lien tidak teraba.
Edema
ekstremitas tidak ada.
Hasil
Laboratorium
Hb : 6.6, Hct : 18.9, Leukosit : 23.320, Trombosit: 54.000, GDS : 137, Ureum : 477,1, BUN : 208,9, Kreatinin : 5.3, Asam Urat : 18, SGOT : 139.5, SGPT : 87.4, Bilirubin Total : 27.9, Bilirubin Direk : 7.4, Bilirubin Indirek : 20.5, Na : 135.7, K : 4.74, Cl : 114.8
DDR
: Plasmodium Falciparum (++++), GF (++)
Diagnosis : Malaria serebral+ AKI+Anemia+ Leukositosis+ Trombositopenia+ Sepsis?
Terapi
:
‐
O2 nasal kanul 3-4 Liter
‐
Infus NaCl 0,9% loading 1000 ml
dalam 30 menit
‐
IVFD Nacl 0.9% : D5 1:1
‐
Injeksi Artesunat 2 Vial ( 120
mg)/IV pada jam 0-12-24
‐
Inj. Cefotaxim 1 gr/8 Jam/IV
‐
Inj. Omeprazole 40 mg/24 Jam/IV
‐
Inj. Antrain 1 gr/8 jam/IV
‐
Konsul perawatan ICU
‐
Inj. ATS 1 ampul i.v.
‐
Pasang NGT
‐ Diet Sonde
14/11/2021 ( ICU RSUD Wamena)
B1 : |
Airway
: bebas Breathing:
Spontan respirasi 30-35 x/m, simetris, suara nafas vesikuler, Rhonki -/-,
wheezing -/- SpO2 97-100 % O2 Simple Mask 6-8 lpm |
B2 : |
Perfusi
hangat, CRT < 2”, Nadi 114x/m; TD 96/50(68) mmHg |
B3 : |
GCS
235 pupil bulat isokor 3/3mm, Suhu 38.5 0C |
B4 : |
BAK
terpasang kateter, Produksi urin 500 ml dalam 24 jam warna kuning pekat |
B5 : |
Abdomen
supel BU (+) |
B6 : |
Edema
-/- |
Assesment
: Penurunan Kesadaran ec Malaria Serebral + AKI + Anemia + Trombositopenia
Planning:
‐
O2 NRM 8-10
lpm
‐
Posisi head up 300
-
Infus loading RL 1000
ml dalam 20 menit
‐
Infus Nacl 0.9% : D5
2:2 / 2000 ml /24 jam
‐
Inj. Antrain 1 gr/8
jam/iv.
‐
Inj. Artesunat 120 mg
0-12-24 kemudian lanjut artesunate 120 mg/24 jam/iv
‐
Inj. Omeprazole 40 mg/
12 jam /iv
‐
Inj. Cefotaxime 1 gr/8
jam/iv
‐
Diet susu 4x100 ml via
NGT cek retensi
‐
Monitoring Vital sign
dan Produksi Urin
‐
Transfusi PRC 2
kolf/hari
‐ KIE keluarga kondisi pasien memburuk dan pertimbangan pemasangan ventilator ( keluarga masih berunding)
15/11/2021 ( ICU RSUD Wamena)
B1 : |
Airway
: bebas Breathing:
Spontan respirasi 30-35 x/m, simetris, suara nafas vesikuler, Rhonki -/-,
wheezing -/- SpO2 97-100 % O2 NRM 8-10 lpm |
B2 : |
Perfusi
hangat, CRT < 2”, Nadi 114x/m; TD 111/65 mmHg |
B3 : |
GCS
235 pupil bulat isokor 3/3mm, Suhu 37.8 0C |
B4 : |
BAK
terpasang kateter, Produksi urin 3900 ml dalam 24 jam warna kuning pekat |
B5 : |
Abdomen
supel BU (+) |
B6 : |
Edema
-/- |
Assesment
: Penurunan Kesadaran ec Malaria Serebral + AKI + Anemia + Trombositopenia
Planning:
‐
O2 NRM 8-10
lpm
‐
Posisi head up 300
‐
Infus Nacl 0.9% : D5
2:2 / 2000 ml /24 jam
‐
Paracetamol drip 1
gr/8 jam/iv.
‐
Inj. Artesunat 120
mg/24 jam/iv
‐
Inj. Omeprazole 40 mg/
12 jam /iv
‐
Inj. Cefotaxime 1 gr/8
jam/iv
‐
Diet susu 4x150 ml via
NGT cek retensi
‐
Monitoring Vital sign
dan Produksi Urin
‐
Transfusi PRC 2
kolf/hari ( pemberian darah masih tunda)
‐
KIE keluarga kondisi
pasien memburuk dan pertimbangan pemasangan ventilator ( keluarga masih
berunding)
Monday, 15 November 2021
MANAJEMEN ANESTESIA PADA PASIEN EKLAMSIA
Eklamsia merupakan salah satu kegawatan dalam anestesia yang dimana seorang ahli anestesia dan ahli kandungan bekerja sama dalam penyelamatan dua nyawa sekaligus.
Peran ahli anestesi pada
eklampsia adalah membantu dokter ahli kandungan untuk mengontrol dan mencegah
kejang lebih lanjut, mengontrol tekanan darah, menjaga jalan napas yang bersih,
mencegah komplikasi yang lebih besar, memberikan analgesia persalinan dan
memberikan anestesi untuk operasi caesar.
Pendahuluan
Setiap Wanita hamil yang
mengalami kejang dalam kondisi emergensi harus dianggap sebagai eklamsia sampai
terbukti tidak. Dalam Bahasa Yunani arti dari eklamsia merupakan persepsi dari
penglihatan kilatan cahaya, karena eklamsia dikaitkan dengan gangguan visual.
Eklampsia adalah terjadinya satu
atau lebih kejang umum dan/atau koma pada preeklamsia dan tanpa adanya kondisi
neurologis lain sebelum, selama, atau setelah persalinan.
Diagnosis banding meliputi
epilepsi, infark serebral, perdarahan serebral, perdarahan subarachnoid,
trombosis vena serebral, edema serebral, hipertensi maligna, tumor otak jinak
dan ganas, abses otak, virus, bakteri, infestasi parasit, hiponatremia,
hipokalsemia, hipoglikemia, dan hiperglikemia.
Faktor risiko eklampsia termasuk
nulipara, kehamilan ganda, kehamilan mola, triploidi, hipertensi atau penyakit
ginjal yang sudah ada sebelumnya, preeklamsia atau eklampsia berat sebelumnya,
hidrops fetalis nonimun, dan lupus eritematosus sistemik.
Etiologi
Hipotesis merupakan mekanisme
kerusakan endotel yang menyebabkan pre-eklampsia dan eklampsia
Patogenesis Kejang
Ada kehilangan autoregulasi dari
Cerebral Blood flow (CBF) ( 60-120 mmHg) karena peningkatan CBF membuat
pembuluh darah dilatasi, iskemik dan peningkatan permeabilitas. Otak mengalami
vasospasme, iskemik, edema, perdarahan, dan hipertensi ensephalopati seringkali
berhubungan dengan pathogenesis.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pre-eklampsia
dijelaskan lebih awal. Ketika kejang muncul, maka menjadi eklampsia.
Ciri-ciri kejang spesifik untuk
eklampsia adalah dijelaskan sebagai berikut.
Eklamsia memiliki onset yang
tiba-tiba dengan wajah yang berkedut dengan mata menonjol, busa dari mulut, dan
lidah tergigit. Biasanya mulai dengan wajah berkedut dan diikuti fase tonik
yang berlangsung sekitar 15-20 detik. Kemudian menjadi fase klonik umum yang
ditandai dengan apnoe yang berlangsung selama kurang lebih 1 menit. Pernafasan
biasanya dilanjutkan dengan isnpirasi yang dalam dan Panjang serta pasien
memasuki keadaan post iktal dengan periode koma. Henti jantung dan aspirasi
paru oleh isi dari lambung dapat mempersulit kondisi kejang pasien.
Komplikasi utama eklampsia
termasuk HELLP sindrom, terhambatnya pertumbuhan intrauterin, ablasio plasenta,
defisit neurologis, pneumonitis aspirasi, DIC, edema paru, gagal ginjal, dan
henti jantung.
Peran pencitraan CT-Scan
Pencitraan CT-Scan tidak diperlukan,
karena kelainan neurologis bersifat sementara dalam banyak kasus. Moodley dkk,
dalam studi mereka pada elektroensefalogram dan otak terkomputerisasi Temuan
tomografi pada eklampsia menekankan bahwa pencitraan memiliki nilai klinis yang
terbatas dan dapat dilakukan pada wanita yang terkena dengan tanda-tanda
neurologis fokal, atipikal kejang, dan/atau pemulihan yang lama.
Peran ahli anestesi
Peran ahli anestesi pada
eklampsia adalah membantu dokter ahli kandungan untuk mengontrol dan mencegah
kejang lebih lanjut, mengontrol tekanan darah, membuat jalan napas yang bersih,
mencegah komplikasi utama, untuk memberikan analgesia persalinan dan untuk
memberikan anestesi untuk operasi Caesar.
1. Mengontrol
dan Mencegah Kejang
Konsep dasar dari mengontrol
kejang adalah untuk mencegah cedera pada ibu, memastikan oksigenasi, memberikan
bantuan jantung dan pernapasan, dan mencegah aspirasi. Magnesium sulfat (MgSO4)
adalah obat antikonvulsan pilihan. MgSO4 diberikan 4 g IV bolus diikuti
sebanyak 2 g/jam melalui infus atau syiringe pump. Dalam pemberian IM
(Pritchard) 4 g 20% MgSO4 IV dan 10 g 50% MgSO4 IM diikuti oleh 5 g IM setiap 4
jam. Infus kontinius lebih baik dalam mempertahankan konsentrasi plasma daripada
rejimen IM. Pemberian MgSO4 diberikan selama 24 jam post partum. Efek samping pemberian
MgSO4 adalah potensiasi blokade neuromuskular, depresi pernapasan, hipotensi,
henti jantung, PPH atonik, dan penurunan denyut jantung janin. Oleh karena itu,
penting untuk memantau Refleks patella/ lutut, laju pernapasan, dan produksi
urin selama pemberian terapi MgSO4. Kadar Mg serum harus di monitoring selama
pemberian intravena. Kadar Mg plasma teraupetik adalah 4-7 meq/l atau 4,8-8,4
mg/dl ( 1 meq/l= 1,22 mg/dl). Jika kejang berlanjut atau berulang berikan bolus
kedua (2 g) MgSO4. Jika kejang masih berlanjut setelah pemberian bolus kedua
MgSO4, berikan fenitoin (15mg/Kg) atau diazepam (10 mg) atau Thiopentone (50
mg/IV). Pada studi yang dilakukan tahun 1995 menyatakan bahwa MgSO4 lebih
unggul dibandingkan dengan diazepam atau fenitoin. Kejang resisten harus
dikelola dengan pemberian muscle relaksan dan pemasangan ventilator. Dosis
pemberian awal MgSO4 4 g dapat diberikan denga naman terlepas dari fungsi
ginjal. Hal ini karena setelah distribusi dosis awal mecapai tingkat terpeutik
yang diinginkan dan infus kontinius dipertahankan, jadi infus pemeliharaan yang
dosisnya diubah pada penurunan laju filtrasi glomerulus. Fungsi ginjal di ukur
dengan pemeriksaan kadar kreatinin plasma. Jika kadar kretainin plasma lebih
dari 1,0 mg/ml, maka dosis pemberian magnesium intravena harus diturunkan.
2. Mengontrol
Hipertensi
Pedoman NICE untuk manajemen
hipertensi adalah:
• Pengobatan antihipertensi
dimulai ketika tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau tekanan darah diastolik
lebih dari 110 mmHg
• Pertimbangkan pengobatan pada
tingkat yang lebih rendah jika penanda lain penyakit yang berpotensi parah
seperti proteinuria berat atau gangguan hati atau gangguan hematologic muncul
• Labetalol, hidralazin, dan
nifedipin adalah obat yang paling umum diberikan
• Atenolol, enzim pengubah
angiotensin (ACE) inhibitor, obat penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan
diuretik harus dihindari
• Nifedipin harus diberikan
secara oral. Tidak ada peran untuk nifedipin sublingual
• Labetalol harus dihindari pada
wanita dengan asma bronkial.
Dalam keadaan darurat, nifedipin
oral 10-20 mg setiap 30 menit hingga maksimal 50 mg atau Inj. Labetalol
20, 40, 80 dengan jeda 20 menit secara intravena berdasarkan respon terhadap
dosis maksimum 220 mg diberikan. Injeksi Hydralazine 5-10 mg setiap 20
menit hingga dosis maksimal 20 mg juga dapat diberikan. Jika hasilnya tidak
memuaskan, yang terakhir pilihannya adalah nitrogliserin intravena.
Evaluasi Preanestesia
Masalah yang bisa ditemukan
preanestesi pada pasien eklamsia berupa :
-
Hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik
-
Albuminuria ( Penurunan tekanan osmotic koloid)
-
Trombositopenia
-
Konstriksi pembuluh darah sentral
-
Penyakit sistemik terkait seperti diabetes
melitus
-
Respon hipertensi selama intubasi dan ekstubasi
-
Interaksi obat dengan magnesium sulfat
-
Edema jalan nafas
-
Tromboemboli
Penilaian organ target yang
terlibat
• Sistem kardiovaskular: Kontrol
hipertensi, LV
fungsi, dan deplesi intravaskular
(periksa osmolalitas)
• Sistem pernapasan: Untuk
tanda-tanda edema paru
• Ginjal: Derajat oliguria dan
kadar kreatinin
• Hati: Tes fungsi hati, gambaran
klinis peregangan
kapsul hati
• Profil koagulasi: Jumlah
trombosit, waktu protrombin,
Waktu tromboplastin parsial
teraktivasi
• Pemeriksaan jalan napas:
Derajat edema jalan napas
• Analisis ABG: Asidemia.
Tujuan manajemen anestesi
• Kontrol kejang
• Kontrol tekanan darah:
Perawatan yang tepat harus diberikan jika tekanan diastolik melebihi 110 mmHg
• Kemungkinan peningkatan ICP
tidak perlu dikhawatirkan ahli anestesi jika pasien tetap sadar, waspada, dan
bebas kejang
• Koma persisten dan tanda-tanda
lokalisasi dapat mengindikasikan mayor patologi intrakranial, yang akan
mempengaruhi pengelolaan anestesi
• Pemeliharaan keseimbangan
cairan: asupan harus dibatasi hingga 80 ml/jam
• Pemantauan oksigenasi ibu
secara terus menerus dengan oksimetri
• Pastikan produk darah tersedia
• Pemeriksaan koagulasi harus
dilakukan terlepas dari: jumlah trombosit
• Preloading yang bijaksana jika dicurigai
hipovolemia atau pasca terapi vasodilator
Penatalaksanaan nyeri
persalinan
Epidural analgesia bisa
dipertimbangkan pada eklampsia yang masih sadar tanpa bukti peningkatan ICP
atau koagulopati dan kejangnya telah terkontrol dengan baik. Hindari epidural
jika ada defisit neurologis sampai diagnosis menjadi jelas. Tekniknya adalah
sebagai berikut. Untuk memulai, hidrasi dengan 0,5-1 l kristaloid diperlukan. Elektrokardiogram
ibu, tekanan darah, juga karena denyut jantung janin harus dipantau terus menerus.
Pemberian oksigen dengan sungkup muka atau nasal kanula bermanfaat. Di antara
anestesi lokal, bupivakain, 0,125%, dengan 2 g/ml fentanil sebagai bolus awal
memberikan analgesia yang sangat baik dengan blok motorik minimal. Semakin
kecil blok motor, semakin besar manfaat yang berkaitan dengan rotasi kepala
janin. Dapat juga diberikan sebagai pump epidural dengan kecepatan 10-12ml/jam.
Anestesi lokal lainnya, seperti ropivacaine dan levobupivacaine dapat digunakan
tetapi keunggulannya dibandingkan dengan bupivacaine tidak didapatkan sampai
sekarang. Dalam teknik spinal-epidural anastesia, opioid saja seperti fentanil
atau sufentanil dapat digunakan atau kombinasi 1,25-2,5 mg bupivacaine
dengan 25 mcg fentanil. Hati-hati
pemberian Opioid dalam dosis besar untuk
kemungkinan terjadinya peningkatan ICP karena depresi pernapasan. Lebih baik
untuk hindari preloading yang berlebihan dengan cairan intravena sebelum
memberikan analgesia epidural dosis rendah dan kombinasi spinal epidural
anestesia. Baru dkk.[11] dalam studi mereka efek hemodinamik anestesi epidural
lumbal pada preeklamsia berat bahwa
dengan hidrasi yang baik dan induksi blok yang lambat, hipotensi dapat
diminimalkan dengan sedikit perubahan pada CVP, CI, dan PCWP.
Pemberian Ergometrin harus
dihindari pada kala tiga persalinan karena dapat meningkatkan tekanan darah
lebih lanjut. Sebagai gantinya,diberikan oksitosin 20 IU dalam satu liter
larutan Ringer laktat diberikan secara intravena dengan kecepatan 10
tetes/menit. Tahap kedua dibantu oleh forsep pada semua pasien eklampsia yang
memiliki persalinan pervaginam, untuk meminimalkan upaya ibu mengejan dan
mencegah peningkatan tekanan darah lebih lanjut.
Manajemen anestesi untuk
operasi caesar
Anestesi regional
Anestesi spinal atau epidural dapat
diberikan dengan aman jika: pasien sadar, bebas kejang dengan tanda vital
stabil dengan tidak ada tanda-tanda peningkatan ICP. Moodley dkk. tidak
menemukan perbedaan dalam hasil ibu dan bayi ketika membandingkan epidural
versus anestesi umum untuk operasi Caesar pada wanita sadar dengan eklampsia.
Spinal anestesi dengan bupivakain dosis rendah dengan fentanil adalah pilihan
yang baik. Keamanan anestesi spinal telah dipelajari pada eclampsia oleh
Razzaque dkk. yang menyimpulkan bahwa spinal lebih aman dari GA untuk LSCS pada
eklampsia. Sebuah kelompok prospektif perbandingan oleh Antonie et al. pada
pasien dengan pre-eklampsia berat menyimpulkan bahwa pasien pre-eklampsia
mengalami lebih sedikit hipotensi selama anestesi spinal untuk persalinan sesar
elektif daripada ibu melahirkan yang sehat. Bupivakain hiperbarik (7,5 mg)
dengan 25 mcg fentanyl dapat memberikan anestesi yang memadai untuk operasi
caesar. Jika dilakukan Teknik spinal epidural anestesi, kehadiran epidural
Kateter memberikan fleksibilitas untuk memperpanjang level dan durasi blok.
Kontraindikasi anestesi regional termasuk penolakan pasien, DIC, solusio
plasenta. terapi aspirin dosis rendah bukan merupakan kontraindikasi untuk
teknik regional. Regional anestesi dianggap aman bila jumlah trombosit lebih
dari 75.000 per mikro liter. Jumlah trombosit lebih dari 50.000 per mikro
liter umumnya dianggap sebagai kontraindikasi. Dalam kisaran 50-75 ribu per
mikro liter penilaian individu (mempertimbangkan risiko pasien dan tes
koagulasi) diperlukan. Ahli anestesi juga harus mengevaluasi terhadap fungsi
paru, produksi urin, bukti kompresi aortocaval dan hipotensi sistemik yang
diinduksi epidural yang dapat menyebabkan penurunan aliran darah uteroplasenta.
Pemberian Dosis kecil fenilefrin 50ug intravena atau ephedrine dapat digunakan
untuk mengobati hipotensi sementara penambahan cairan intravena harus dengan
bijaksana.
Anestesi umum
Anestesi umum (GA) adalah pilihan
pada pasien dengan penurunan kesadaran, pasien dengan bukti peningkatan ICP.
Anestesi dicapai dengan opioid dan relaksan teknik dan hiperventilasi.
Pertimbangan yang penting adalah
• Edema jalan napas
• Kemungkinan manajemen jalan
napas yang sulit
• Meskipun kadar kolinesterase
menurun, durasi aksi suksinilkolin dan anestesi lokal ester adalah
jarang terpengaruh
• Respon hipertensi berlebihan
terhadap endotrakeal intubasi
• Interaksi obat antara magnesium
dan otot relaksan
• Dosis kecil zat volatile yang
mudah dapat mencegah kesadaran
• Ekstubasi dilakukan pada saat
pasien sepenuhnya sadar atau pasien dipindahkan ke ICU untuk dukungan ventilasi
tergantung pada kondisi pra operasi dan
intraoperatif.
Manajemen Cairan
Temuan awal yang terlihat pada
kebanyakan kasus adalah CVP rendah dan PCWP. Jika pengeluaran urin memadai tidak
perlu untuk pemantauan khusus. Jika output urin tidak memadai, pemberian cairan
dilakukan dengan: 250-500 ml kristaloid diinfuskan selama 20 menit. Jika respon
baik bolus cairan tambahan dapat diberikan dengan hati-hati. Jika tidak ada
respon terhadap bolus cairan awal, pemantauan CVP atau PCWP menjadi perlu.
Kateter arteri pulmonalis adalah diindikasikan pada edema paru berat, oliguria
tidak responsive untuk terapi cairan dan hipertensi yang tidak dapat diobati.
Pemantauan CVP
Saat ini ekspansi volume adalah
CVP minimal 6-8 mmHg dianggap aman dan efektif. Muda dkk. studi tentang
hemodinamik, invasif, dan ekokardiografi pemantauan pada ibu hamil hipertensi
menemukan bahwa Gradien CVP-PCWP pada preeklamsia berat mungkin sebagai: setinggi
8-10 mmHg. Oleh karena itu, CVP 8 mmHg mungkin sesuai dengan PCWP setinggi 18
mmHg. Hasil ini dalam kelebihan volume dan mungkin edema paru. Oleh karena itu,
tujuan dari ekspansi volume untuk mencapai CVP sebesar 4 mmHg atau kurang
mungkin lebih baik pada eclampsia.
Kapan tekanan darah
intra-arteri diindikasikan?
Meskipun kasus individu berbeda,
pemantauan tekanan darah invasive diperlukan dalam situasi berikut.
• Tekanan darah tinggi yang
berkelanjutan
• Potensi fluktuasi BP yang cepat
• Ketidakmampuan untuk mendapatkan
BP dengan manset
• Pengambilan sampel berulang
• Penggunaan vasodilator perifer
• edema paru.
Edema paru merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat menjadi kardiogenik atau nonkardiogenik. edema paru
kardiogenik disebabkan oleh salah satu gangguan ventrikel kiri fungsi sistolik
atau diastolik. Adanya CO yang rendah, PCWP tinggi, CVP tinggi, dan SVR tinggi
mencirikan sistolik disfungsi, sedangkan disfungsi diastolik dikaitkan dengan
CO normal atau tinggi, PCWP tinggi, dan SVR normal.
Edema paru nonkardiogenik
disebabkan dari faktor seperti peningkatan permeabilitas kapiler, iatrogenik,
kelebihan cairan, ketidakseimbangan antara osmotik koloid tekanan (COP) dan
tekanan hidrostatik, atau kombinasi dari faktor-faktor ini. Manajemen
bervariasi sesuai dengan penyebab dan disfungsi klinis.
Disfungsi ginjal dan oliguria
Pada preeklamsia berat,
vasospasme dan endotel disfungsi menyebabkan penurunan GFR. Serum kreatinin
naik dan oliguria menandakan kerusakan yang cepat dari fungsi ginjal. Clark
dkk. dalam studi mereka tentang mengelola hemodinamik oliguria pada
pre-eklampsia menggambarkan tiga jenis temuan hemodinamik yang berbeda.
Kelompok pertama menunjukkan tanda-tanda klasik hipovolemia seperti: dibuktikan
dengan tekanan pengisian yang rendah, peningkatan SVR, dan fungsi jantung
hiperdinamik. Ini merespon dengan baik untuk cairan IV. Kelompok kedua
menunjukkan normal atau tekanan pengisian tinggi, CO tinggi, dan SVR tinggi.
Pasien-pasien ini diobati dengan vasodilator dan pembatasan cairan. Kelompok
ketiga menunjukkan peningkatan SVR dan PCWP, dan penekanan fungsi jantung
merespons dengan baik pengurangan cardiak output. Jadi pengobatan untuk
oliguria adalah berdasarkan kondisi .
Tromboprofilaksis
Pasien dengan pre-eklampsia memiliki peningkatan
risiko penyakit tromboemboli. Sebelum melahirkan, semua pasien harus memiliki
stoking antiemboli atau pemberian heparin pada pasien yang tidak bergerak.
Setelah melahirkan, dosis heparin (dosis
disesuaikan dengan berat awal kehamilan) harus diberikan setiap hari sampai pasien
benar-benar mobile (tujuh hari jika melahirkan melalui operasi caesar). Heparin
tidak boleh diberikan 4-6 jam setelah spinal anestesi. Kateter epidural harus
dibiarkan di tempatnya selama setidaknya 12 jam setelah pemberian heparin .
Setelah pencabutan kateter epidural, heparin tidak boleh diberikan selama 4-6
jam.
Manajemen pascapersalinan
Pada postpartum, pemantauan ketat
dilakukan dari tanda-tanda vital, pemberian cairan dan produksi urin, dan
gejala sampai 48 jam. Pasien biasanya menerima sejumlah besar cairan intravena
selama persalinan, melahirkan, dan postpartum. Selain itu, selama periode
postpartum ada mobilisasi cairan ekstraseluler yang menyebabkan peningkatan
volume intravaskular. Akibatnya, wanita dengan eklampsia, terutama mereka yang
memiliki fungsi ginjal abnormal, dengan solusio plasenta, dan mereka hipertensi
kronis sebelumnya sudah ada, menyebabkan peningkatan risiko untuk terjadinya
edema paru dan eksaserbasi hipertensi berat. Karenanya, sangat penting untuk
melanjutkan kewaspadaan di masa nifas. Mengenai cairan intravena, setelah
melahirkan,
wanita itu harus dibatasi
cairannya untuk menunggu diuresis alami yang biasanya terjadi sekitar
36-48 jam setelah melahirkan.
Jumlah total cairan (total cairan intravena dan oral) harus dibatasi
hingga 80ml/jam. Pembatasan
cairan biasanya akan dilanjutkan selama durasi pemberian magnesium sulfat;
Namun, peningkatan asupan cairan mungkin diperbolehkan pada waktu yang lebih
awal
menunjukkan adanya diuresis yang
signifikan. Parenteral magnesium sulfat harus dilanjutkan setidaknya selama 24
jam setelah melahirkan dan/atau setidaknya 24 jam setelah kejang terakhir.
Mengenai terapi antihipertensi, metildopa dapat ditahan kalsium chanel blocker,
beta blocker, atau alpha blocker.