Oleh: Jusman Dalle*
(Dimuat di Opini Detik.com Edisi 6 Desember 2011)
Terhadap relasi Islam dan politik kotemporer (demokrasi), terdapat dua kutub perspektif diantara para pengamat politik internasional maupun para orientalis. Francis Fukuyama (1992) dan Samuel P Huntington (1997) merupakan dua ahli politik internasional yang berada pada posisi melihat relasi negatif-destruktif antara Islam dan demokrasi. Bagi keduanya, tidak mungkin demokrasi yang lahir dari basis gagasan liberalisme dapat hidup berdampingan dengan Islam yang pada beberapa ajarannya sangat tegas (beberapa pihak menyebutnya konservatif).
Misalnya, dalam demokrasi berdirinya negara bangsa (nation state) merupakan keharusan. Sedangkan dalam pandangan Islam, gagasan persatuan ummat (ummah) merupakan kewajiban utnuk mencegah terjadinya polarisasi di intern umat. Menurut Huntington dan Fukuyama, konsep nation state tentu tidak kohenren dan tidak mungkin dikompromikan dengan ide ummah.
Berbeda dengan kedua rekan senegaranya, John L. Esposito (1996) dari Georgetown University yang puluhan tahun melakukan penelitian terhadap Islam, melihat bahwa Islam yang senafas dengan budaya politik demokratis memberi atmosfer bagi tumbuhnya demorkasi. Bagi Esposito, tradisi ijma atau konsensus bersama dan ijtihad yang diputuskan berdasarkan berbagai pertimbangan dan pandangan di dalam ajaran Islam, merupakan corak dari demokrasi. Senada dengan Esposito, Ahmad Moussalli (2001) yang juga Guru Besar Pemikiran Politik Islam dan Barat, melihat bahwa konsep syura (musyawarah) dan ikhtilaf (perbedaan pandangan) merupakan norma dan nilai demokrasi.
Mengamati kenyataan perkembangan politik di Timur Tengah yang bisa dikatakan sebagai representasi Islam politik, nampaknya pandangan Fukuyama dan Huntington telah dimentahkan. Fakta terakhir soal kemajuan demokrasi di Timur Tengah, adalah berlangsungnya pemilu demokratis di Mesir beberapa hari lalu. Dalam pemilu legislatif itu, kubu Islam politik menguasai 65 persen suara yang terbagi kepada kubu Al Hurriyah wa Al Adalah atau Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang berafiliasi ke Ikhwanul Muslimin, menguasai 36,6 persen suara dan 24,4 persen suara lainnya untuk kubu berhaluan Salafi, Partai Al-Nur. Kemenangan Islam politik di Mesir, membuktikan jika paham politik demokrasi masyarakat Mesir jauh dari apa yang dipostulatkan oleh Huntington maupun Fukuyama.
Kebangkitan Islam
Kenyataan politik di Mesir menjadi menarik kita telaah karena merupakan bagian dari rangkaian peristiwa Islam politik di Timur Tengah yang terjadi sejak akhir abad ke 20 yang lalu. Pada tahun 1989 berdiri partai Islam di Aljazair dengan nama FIS atau Front Islamic du Salut atau dalam bahasa Indonesia Front Keselamatan Islam. Pada pemilu 20 Juni 1991, FIS memenangi pemilu setelah meraup 54% suara. Namun karena pihak sekuler tidak menginginkan pemerintahan Islam, maka terjadi kudeta militer yang berakhir dengan pembubaran FIS.
Kenyataan tersebut menjadi pelajaran bagi partai politik Islam yang datang kemudian di berbagai belahan dunia. Diantaranya adalah Adelet ve Kalkinma Partisi (AKP, atau Partai Keadilan dan Pembangunan) di Turki. AKP yang didirikan oleh Recep Tayyip Erdoğan pada tanggal 14 Agustus 2001, sejak tahun pertama menjadi gerakan politik terbesar yang didukung publik di Turki. Pada pemilihan umum tahun 2002 AKP memenangkan dua pertiga kursi di parlemen sehingga berhak membentuk pemerintahan partai tunggal setelah 11 tahun.
AKP tidak secara frontal mengatakan diri sebagai partai Islam, walaupun dalam program-program dan kebijakan politik pemerintahan di bawah Erdogan merupakan artikulasii dari nilai-nilai Islam. Banyak yang meyebut-nyebut jika AKP merupakan representasi dari ideologi politik Ikhwanul Muslimin, mengingat dekatnya hubungan emosional dan spiritual pemimpin AKP dengan organisasi pergerakan Islam terbesar di dunia ini. Sejak kemenangan pada pemilu tahun 2002, AKP masih menjadi kekuatan utama politik di Turki yang juga merupakan negara benua Eropa dan menjadikan masuknya Turki dalam keanggotaan Uni Eropa sebagai agenda utama mereka.
Umat Islam di Palestina, negara yang bergolak akibat perang berkepanjangan dengan Israel, juga tak luput menjadi bagian dari proses gelombang yang disebut oleh Huntington sebagai demokratisasi gelombang ketiga. Adalah Harakah al-Muqawwamatul Islamiyyah atau (HAMAS) yang merupakan partai Islam, memenangi pemilu 2006 lalu. Praktis, kemenangan HAMAS menjadi pukulan telak bagi Barat (utamanya Israel) yang selama ini memback up Fatah yang lebih mudah mereka kendalikan. Tak heran, jika Israel dan AS tidak mengakui pemerintahan Hamas. Standar ganda demorkasi ala Barat.
Pasca Revolusi Arab
Awal tahun 2011, efek domino dari demam demokratisasi yang selama ini dikoar-koarkan oleh Barat, dan tekad untuk keluar dari keterpurukan multidimensi baik ekonomi maupun politik di bawah pemerintah otoriter di Timur Tengah, ibarat bola liar. Memantul ke mana-mana, menjadi irama revolusi. Dari Tunisia, disusul oleh Mesir, Libya dan kini Suriah, kekuatan Islam politik semakin menempati ruang sekaligus mengeliminir penguasa despotik yang menjadi kacung Amerika dan sekutunya.
Tunisia yang sebelumnya diperintah oleh rezim diktator dan koruptif Ben Ali, kini telah beralih ke pemerintahan baru yang Islami. Partai An Nahda menang dalam pemilu 23 Oktober lalu dengan 41,47 persen suara. Pun dengan Partai bentukan Ikhwan memenangi pemilu Mesir pada pemilihan umum tahap pertama di beberapa kota besar. Kemenangan tersebut disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, karena besarnya basis massa Ikhwan yang selama ini memegang posisi strategis pada organisasi kemasyarakatan yang berpengaruh di Mesir. Walaupun tidak beraktifitas politik praktis, akan tetapi Ikhwan tetap bergerak pada ruang-ruang sosial yang bersentuhan dengan masyarakat.
Kedua, tindakan represif (kedzaliman) yang dialami selama 32 tahun rezim diktator Husni Mubarak berkuasa, menyebabkan masyarakat bersimpatik secara emosional. Ini bisa dilihat dari partai Al Wafd yang merupakan partai pemerintah, hanya memperoleh 5 persen suara.
Ketiga, dalam kampanyenya, Al Hurriyah wa Al Adalah tidak menonjolkan simbol-simbol keislaman yang dengan muda dijadikan oleh lawan politiknya sebagai titik lemah dan mengundang resistensi terhadap Barat. Al Hurriyah wa Al Adalah, sepertinya hendak mengadopsi corak politik AKP yang juga diadopsi oleh An Nahda. Tidak menjadikan politik Islam sebagai politik Islamisasi an sich, tetapi melalui kebijakan yang persuasif dengan membuktikan kinerja mereka kepada rakyat. Konsep politik yang implementatif dan subtantif.
Suksesnya gerakan politik Islam menginfiltrasi Timur Tengah, membuat AS dan Israel meradang. Selama ini, keduanya berkepentingan besar di kawasan Timteng. Sebelum revolusi, Tunisia dan Mesir merupakan anak manis yang begitu mudah diatur. Sebagai gerbang yang menempati posisi kunci atas pengaruh AS dan Israel, tanda-tanda beralihnya Mesir ke pemerintahan Islami di bawah Al Hurriyah wa Al Adalah membuat Obama dan Benjamin Netanyahu berfikir keras untuk menjaga eksistensi hegemoninya di kawasan Timur Tengah.
Kekhawatiran AS dan Israel bukan tanpa alasan. Mesir merupakan kawasan strategis bagi resonansi hegemoni AS di Timur Tengah yang kaya akan sumber minyak. Mesir juga merupakan pemasok energi gas ke Israel dengan harga dibawah kesepakatan internasional dan tanpa pajak. Bagi AS, Mesir memiliki daya tawar yang tinggi karena sekitar 2 juta barel minyak mentah disalurkan melalui Terusan Suez yang dikuasai oleh pemerintah Mesir.
Dengan beralihnya kepemerintahan Islam, bisa saja terjadi nasionalisasi atau proyek-proyek bisnis tersebut disetop. Kebijakan yang tentunya akan berpengaruh signifikan terhadap roda perekonomian negara industri sekelas AS dan Israel yang sangat bergantung pada bahan bakar minyak dan gas.
Suksesnya gerakan Islam merebut kekuasaan di beberapa negara, termasuk di Mesir, akan menginspirasi gerakan Islam dibelahan dunia lainnya (khususnya negara-negara non-demokratis di Timur Tengah) untuk menggulirkan gerakan demokratisasi.
Di sisi lain, saat ini krisis masih menghantui Eropa dan Amerika. Efek ganda dari krisis akan terasa jika saja pemerintah baru yang muncul di Timur Tengah tidak lagi tunduk pada kemauan Barat. Alamat berkurangnya pundi-pundi keuangan, serta pasar produk AS dan Eropa sehingga semakin memperburuk keadaan di kedua wilayah tersebut. Akhirnya, pemilu Mesir menjadi tonggak monumenal dari rangkaian etape kebangkitan Islam politik.
Lalu Indonesia?
Pertanyaannya, sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar, dan negara yang memiliki posisi strategis baik dari segi geopolitik maupun dari geoekonomi di kawasan Asia Pasifik dan juga di Asia Tenggara, kapan politik Islam bisa menata karut marut wajah negeri ini? Menjadikan nilai-nilai Islam sebagai penuntun dalam melahirkan Indonesia sebagai kekuatan utama ke 5 di dunia pada 2030 sebagaimana prediksi Goldman Sach Inc., maupun Ctandard Chartered Bank.
Adalah koreksi dan sekaligus kontemplasi bagi aktivis ragam partai politik yang menginginkan tegaknya nilai-nilai Islam di Indonesia. Tak ada salahnya belajar dari kemenangan partai-partai di Turki, Palestina, Tunisia dan Mesir. Tentang konsistensi mereka memegang prinsip sejak ditindas oleh rezim masa lalu, namun tidak bergeming walaupun ratusan aktifis ditangkap, dipenjara dan bahkan dibunuh. Partai-partai pemenang pemilu di Timur Tengah, juga secara persuasif mengartikulasikan kebijakan-kebijakan negara yang selaras dengan nilai Islam sehingga bisa mengeliminir resistensi dari masyarakat, sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan Erdogan di Turki.
Karakter lain adalah ketulusan bekerja untuk seluruh lapisan masyarakat, walau tidak harus berada di dalam kekuasaan. Ketika masa Husni Mubarak misalnya, para aktivis ikhwan banyak bergerak pada ranah sosial, dan ini sekaligus sebagai modal yang dikemudian hari mereka panen hasilnya.
Dan terakhir, mereka tetap percaya diri dengan nilai-nilai perjuangan yang dibawa walaupun Barat berusaha mengintervensi secara eksternal melalui propaganda media dengan gelombnang stigmatisasi sebagai kelompok Islamis. Propaganda tersebut tak membuat mereka berubah warna menjadi partai tanpa identitas. Wallahu’alam
*)http://jusman-dalle.blogspot.com/2011/12/fenomena-kemenangan-islam-politik-di.html
No comments:
Post a Comment