Saturday 31 December 2016

Komplikasi yang Tidak Biasa Spinal Anesthesia pada Seksio Sesarea

Spinal anesthesia adalah memasukkan obat anestesi local ke dalam ruang subarachnoid untuk menghilangkan sensasi nyeri. Umumnya komplikasi pada spinal anesthesia adalah hipotensi yang diikuti mual dan muntah, gagal spinal anestesi dan post dural puncture. Komplikasi yang tidak umum lainnya adalah high dan total spinal dan hematoma. Pada kasus ini dilaporkan pasien dengan gerakan tungkai bawah yang tidak terkontrol, Hipertensi, aritmia dan cardiac arrest berulang setelah resusitasi.

1.       Pendahuluan
Spinal anesthesia merupakan teknik yang aman dengan sedikit komplikasi yang bisa mudah ditangani. Memasukkan obat-obatan local anestesi misalnya Bupivacain 0,5% ke dalam ruang subarachnoid. Obat lain bisa ditambahkan seperti opioid dan clonidine untuk meningkatkan kualitas blok.
Meskipun prosedur tindakan ini lebih aman, ada didaptkan laporan  komplikasi yang dihubungkan dengan kesalahan manusia seperti kurangnya kewaspadaan, salah label atau salah memasukkan spuit denngan ampul obat, atau menganggap remeh konsep double check. Di tempat kami ada 4000 seksio sesarea yang dilakukan tiap tahun dan 85 % dengan spinal anestesi . ini merupakan laporan pertama kasus pasien dengan gerakan tungkai bawah yang tak bisa dikontrol diikuti oleh hipertensi dan aritmia setelah pemberian spinal anesthesia.

2.       Deskripsi Kasus
Ampul Asam Tranexamat dan Bupivacaine 0,5 % yang mirip
Pasien wanita 27 tahun dengan G2P1 datang sekitar pukul 07.00 untuk dilakukan seksio sesarea dengan riwayat seksio sesarea.
Pasien telah dibawa ke klinik bersalin sekitar pukl 07.00 untuk dilakukan operasi seksio dengan riwayat seksio sebelumnya. Pasien adalah wanita 27 tahun dengan G2P101. Pasien telah dianestesi dan sudah disiapkan untuk pembedahan. Pasien dengan PS ASA 1.
Spinal anetsesia dikerjakan dengan posisi duduk di interspase L4-L5, dengan jarum 25 G. perawat anestesi memberikan ampul Bupivacain 0,5% 4 ml ke residen anestesi yang akan melakukan tindakan. Setelah injeksi Bupivacain, tekanan darah pasien stabile.namun, pasien masih bisa menggerakkan kedua kakinya setelah 5 menit dilakukan spinal. Tidak ada keluhan yang lain dan perawat anestesi menyarankan agar dokter bedah menunggu obat bekerja.
Setelah dilakukan pembersihan dan draping ketika dokter bedah menguji ketinggian bok spinal pasien merasa nyeri. Pasien mulai kejang mioklonik sebatas anggota gerak bawah dan perut. Pasien menjadi sangat cemas dan tekanan darah 175/95 mmhg dan perawat anestesi memutuskan untuk merubah sipinal anestesi ke anestesi umum. Dia tidak bisa menjelaskan alas an kenapa terjadi kejang mioklonik dan hipertensi.
Induksi anestesi umum dengan Thiopentone 450 mg diikuti dengan pemberian Suxamethorium 100mg setelah itu pasien berhasil diintubasi.
Bayi berhasil lahir setelah 5 menit insisi. APGAR skore 1 menit pertama 8/10. Diberikan Syntoncinon 10 Unit untuk kontraksi otot dan fentanyl 100 mcg untuk analgetik.  Pasien juga mendapatkan Augmentin 1,2 gr.
Setelah bayi lahir dokter bedah melihat kejang lagi, tapi ia berpikir itu mungkin gerakan disebabkan oleh kuran dalamnya anestesi. Perawat anestesi kemudian mendalamkan anestesi dan meyakinkan dokter bedah untuk melanjutkan operasi.
Setelah operasi selesai 30 menit dan agen inhalasi sudah distop, kejang mioklonik semakin memburuk. Pasien bisa membuka mata tetapi gelisah dan tidak bisa diekstubasi. Pasien akhirnya dikirim ke ICU untuk pengelolaan selanjutnya.
Pasien diterima di ICU tidak sadar dengan GCS 3/15.
Pupil ukuran sama kiri dan kanan. Reflex cahaya positif. Tidak ada tanda lateralisasi. Namun pasien masih kejang mioklonik pada anggota gerak bawah dan otot perut.
Pemeriksaan RBS 7,4 mmol/l. suhu 38,4 C. pasien diberikan thiopentone untuk mengontrol kejang dan pemakaian ventilator untuk support ventilasi.
Dokter anestesi di ICU menduga ini adalah eklampsia dan mungkin salah memasukkan obat ke ruang subarchnoid. CT scan kepala dan Lumbosacral normal. Semua pemeriksaan laboratorium KFT, LFT, TFT dan FBC normal.
Ketika dicek ke tempat operasi ditemukan disebelah kiri troli anestesi asam tranexamat. Ampulnya kelihatan mirip dengan ampul Bupivacain. Mahasiswi perawat anestesi dikompirmasi  bawah ampul tanexamat itu yang diberikan kepadanya oleh perawat anestesi.
Kondisi pasien memburuk dengan semakin sering kejang meskipun dengan pemberian antikejang. Pasien juga mengalami takiaritmia dan cardiac arrest 24 jam setelah dilakukan resusitasi. 12 jam setlah terjadi ventricular takikardi dan akhirnya muncul verikular fibrilasi yang berulang untuk resusitasi. Pasien dinyatakan meninggal setalh 48 jam masuk ICU. Post mortem dianjurkan tapi kerabat menolak.

3.       Diskusi
Kesalahan penyuntikan asam tranexamat tidak biasa terjadi. Firouzeh at al . melaporkan kasus pasien obstetric yang tidak sengaja diberikan asam tranexamat melalui intratekal. Setelah 3 menit injeksi, pasien masih bergerakdan merasakan nyeri di perut bagian bawah. Pasien merasa tidak nyaman dan pusing. Anestesi umum dilakukan untuk melahirkan bayi. Setelah operasi pada pasien muncul takiaritmia dan gerakan-gerakan tidak terkendali pada ektremitas bawah seperti kejang. Pasien mengalami cardiac arrest dan telah berulang diresusitasi.
De Leede-Van der Maarl at al. melaporkan kasus pasien laki2 68 tahun yang tidak sengaja diinjeksikan asam tranexamat 50mg  melalui intratekal. Segera setalah pemberian obat, pasien mengalami status epileptikus. Komplikasi parese pada semua anggota gerak. , bilateral peroneal palsy. Kasus yang dialporkan oleh Yeh et al, kejang umum dan ventricular fibrilasi berulang setelah pemberian asam tranexamat 500 mg melalui intratekal. Pada duakasus lainnya dilaporkan pemberian asam tranexmat 150mg melalui intratekal menyebabakan ventricular fibrilasi berulang.
Mekanisme kejang dan ventricular fibrilasiyang disebabkan oleh pemberian asam tranexamat tidak diketahui. Bagaimanapun dosis asam tranexamat yang tinggi akan menyebabkan pemblokan saraf simpatis yang menyebabkan hipertensi dan ventricular takikardi. Furtmuller et al juga melaporkan antagonis dari TXA pada reseptor gamma amino butyric acid –a ( GABA) menjelaskan kejang pada ektremitas bawahyang disebabkan oleh TXA. Pasien kami menerima TXA 200 mg melalui intratekal menyebabkan kejang klonik, takikardia dan meninggal setelah 48 jam.

4.       Kesimpulan
Pada literature, kasus yang dilaporkan tentang insiden pemberian intratekal TXA karena susah membedakan antara ampul TXA dan Bupivacaine 0,5 %. Ini karena ampul keduanya hampir mirip.
Kami merekomendasikan untuk obat yang penting seperti obat spinal anesthesia dibuat kemasan yang unik agar mengurangi kebingungan. Pada waktu yang sama dokter anestesi harus mencek label ampul dan menjalankan konsep cek dua kali.
Pada akhirnya, proses hukum harus dijalankan terlepas dari status pasien. Dalam hal ini pasien dating untuk operasi SC. Kami percaya bahwa perawat anestesi yang mengerjakan ini dia telah bekerja selama 11 jam dan pasti sangat lelah. 

Sumber : ( Unusual Complication Following spinal anesthesia for caesarean section. A.Antwi-Kusi et al)

No comments:

Post a Comment