Spinal anesthesia adalah
memasukkan obat anestesi local ke dalam ruang subarachnoid untuk menghilangkan
sensasi nyeri. Umumnya komplikasi pada spinal anesthesia adalah hipotensi yang
diikuti mual dan muntah, gagal spinal anestesi dan post dural puncture. Komplikasi
yang tidak umum lainnya adalah high dan total spinal dan hematoma. Pada kasus
ini dilaporkan pasien dengan gerakan tungkai bawah yang tidak terkontrol,
Hipertensi, aritmia dan cardiac arrest berulang setelah resusitasi.
1. Pendahuluan
Spinal anesthesia merupakan
teknik yang aman dengan sedikit komplikasi yang bisa mudah ditangani. Memasukkan
obat-obatan local anestesi misalnya Bupivacain 0,5% ke dalam ruang
subarachnoid. Obat lain bisa ditambahkan seperti opioid dan clonidine untuk
meningkatkan kualitas blok.
Meskipun prosedur tindakan ini
lebih aman, ada didaptkan laporan
komplikasi yang dihubungkan dengan kesalahan manusia seperti kurangnya
kewaspadaan, salah label atau salah memasukkan spuit denngan ampul obat, atau
menganggap remeh konsep double check. Di tempat kami ada 4000 seksio sesarea
yang dilakukan tiap tahun dan 85 % dengan spinal anestesi . ini merupakan
laporan pertama kasus pasien dengan gerakan tungkai bawah yang tak bisa
dikontrol diikuti oleh hipertensi dan aritmia setelah pemberian spinal anesthesia.
2. Deskripsi
Kasus
![]() |
Ampul Asam Tranexamat dan Bupivacaine 0,5 % yang mirip |
Pasien wanita 27 tahun dengan
G2P1 datang sekitar pukul 07.00 untuk dilakukan seksio sesarea dengan riwayat
seksio sesarea.
Pasien telah dibawa ke klinik
bersalin sekitar pukl 07.00 untuk dilakukan operasi seksio dengan riwayat
seksio sebelumnya. Pasien adalah wanita 27 tahun dengan G2P101. Pasien telah
dianestesi dan sudah disiapkan untuk pembedahan. Pasien dengan PS ASA 1.
Spinal anetsesia dikerjakan
dengan posisi duduk di interspase L4-L5, dengan jarum 25 G. perawat anestesi
memberikan ampul Bupivacain 0,5% 4 ml ke residen anestesi yang akan melakukan
tindakan. Setelah injeksi Bupivacain, tekanan darah pasien stabile.namun,
pasien masih bisa menggerakkan kedua kakinya setelah 5 menit dilakukan spinal. Tidak
ada keluhan yang lain dan perawat anestesi menyarankan agar dokter bedah
menunggu obat bekerja.
Setelah dilakukan pembersihan dan
draping ketika dokter bedah menguji ketinggian bok spinal pasien merasa nyeri. Pasien
mulai kejang mioklonik sebatas anggota gerak bawah dan perut. Pasien menjadi
sangat cemas dan tekanan darah 175/95 mmhg dan perawat anestesi memutuskan
untuk merubah sipinal anestesi ke anestesi umum. Dia tidak bisa menjelaskan alas
an kenapa terjadi kejang mioklonik dan hipertensi.
Induksi anestesi umum dengan
Thiopentone 450 mg diikuti dengan pemberian Suxamethorium 100mg setelah itu
pasien berhasil diintubasi.
Bayi berhasil lahir setelah 5
menit insisi. APGAR skore 1 menit pertama 8/10. Diberikan Syntoncinon 10 Unit
untuk kontraksi otot dan fentanyl 100 mcg untuk analgetik. Pasien juga mendapatkan Augmentin 1,2 gr.
Setelah bayi lahir dokter bedah
melihat kejang lagi, tapi ia berpikir itu mungkin gerakan disebabkan oleh kuran
dalamnya anestesi. Perawat anestesi kemudian mendalamkan anestesi dan meyakinkan
dokter bedah untuk melanjutkan operasi.
Setelah operasi selesai 30 menit
dan agen inhalasi sudah distop, kejang mioklonik semakin memburuk. Pasien bisa
membuka mata tetapi gelisah dan tidak bisa diekstubasi. Pasien akhirnya dikirim
ke ICU untuk pengelolaan selanjutnya.
Pasien diterima di ICU tidak
sadar dengan GCS 3/15.
Pupil ukuran sama kiri dan kanan.
Reflex cahaya positif. Tidak ada tanda lateralisasi. Namun pasien masih kejang
mioklonik pada anggota gerak bawah dan otot perut.
Pemeriksaan RBS 7,4 mmol/l. suhu
38,4 C. pasien diberikan thiopentone untuk mengontrol kejang dan pemakaian
ventilator untuk support ventilasi.
Dokter anestesi di ICU menduga
ini adalah eklampsia dan mungkin salah memasukkan obat ke ruang subarchnoid. CT
scan kepala dan Lumbosacral normal. Semua pemeriksaan laboratorium KFT, LFT,
TFT dan FBC normal.
Ketika dicek ke tempat operasi
ditemukan disebelah kiri troli anestesi asam tranexamat. Ampulnya kelihatan
mirip dengan ampul Bupivacain. Mahasiswi perawat anestesi dikompirmasi bawah ampul tanexamat itu yang diberikan
kepadanya oleh perawat anestesi.
Kondisi pasien memburuk dengan
semakin sering kejang meskipun dengan pemberian antikejang. Pasien juga
mengalami takiaritmia dan cardiac arrest 24 jam setelah dilakukan resusitasi.
12 jam setlah terjadi ventricular takikardi dan akhirnya muncul verikular
fibrilasi yang berulang untuk resusitasi. Pasien dinyatakan meninggal setalh 48
jam masuk ICU. Post mortem dianjurkan tapi kerabat menolak.
3. Diskusi
Kesalahan penyuntikan asam
tranexamat tidak biasa terjadi. Firouzeh at al . melaporkan kasus pasien obstetric
yang tidak sengaja diberikan asam tranexamat melalui intratekal. Setelah 3
menit injeksi, pasien masih bergerakdan merasakan nyeri di perut bagian bawah. Pasien
merasa tidak nyaman dan pusing. Anestesi umum dilakukan untuk melahirkan bayi. Setelah
operasi pada pasien muncul takiaritmia dan gerakan-gerakan tidak terkendali
pada ektremitas bawah seperti kejang. Pasien mengalami cardiac arrest dan telah
berulang diresusitasi.
De Leede-Van der Maarl at al.
melaporkan kasus pasien laki2 68 tahun yang tidak sengaja diinjeksikan asam
tranexamat 50mg melalui intratekal. Segera
setalah pemberian obat, pasien mengalami status epileptikus. Komplikasi parese
pada semua anggota gerak. , bilateral peroneal palsy. Kasus yang dialporkan
oleh Yeh et al, kejang umum dan ventricular fibrilasi berulang setelah pemberian
asam tranexamat 500 mg melalui intratekal. Pada duakasus lainnya dilaporkan
pemberian asam tranexmat 150mg melalui intratekal menyebabakan ventricular
fibrilasi berulang.
Mekanisme kejang dan ventricular
fibrilasiyang disebabkan oleh pemberian asam tranexamat tidak diketahui. Bagaimanapun
dosis asam tranexamat yang tinggi akan menyebabkan pemblokan saraf simpatis
yang menyebabkan hipertensi dan ventricular takikardi. Furtmuller et al juga
melaporkan antagonis dari TXA pada reseptor gamma amino butyric acid –a ( GABA)
menjelaskan kejang pada ektremitas bawahyang disebabkan oleh TXA. Pasien kami
menerima TXA 200 mg melalui intratekal menyebabkan kejang klonik, takikardia
dan meninggal setelah 48 jam.
4. Kesimpulan
Pada literature, kasus yang
dilaporkan tentang insiden pemberian intratekal TXA karena susah membedakan
antara ampul TXA dan Bupivacaine 0,5 %. Ini karena ampul keduanya hampir mirip.
Kami merekomendasikan untuk obat yang
penting seperti obat spinal anesthesia dibuat kemasan yang unik agar mengurangi
kebingungan. Pada waktu yang sama dokter anestesi harus mencek label ampul dan
menjalankan konsep cek dua kali.
Pada akhirnya, proses hukum harus
dijalankan terlepas dari status pasien. Dalam hal ini pasien dating untuk
operasi SC. Kami percaya bahwa perawat anestesi yang mengerjakan ini dia telah
bekerja selama 11 jam dan pasti sangat lelah.
Sumber : ( Unusual Complication Following spinal anesthesia for caesarean section. A.Antwi-Kusi et al)
No comments:
Post a Comment