Tuesday, 25 January 2011

Pucuk Ubi Rebus Bundo Kanduang


Sudah hampir 7 tahun saya disini, Negeri yang pernah melahirkan orang-orang besar negeri ini.Seperti Hatta seorang yang pernah menjadi wakil presiden pertama republic ini, Muhammad Natsir seorang politikus Islam, Menteri Luar negeri H.Agus Salim, Muhammad Yamin seorang Filsuf Nasionalis, seorang Ulama besar seperti Hamka juga terlahir di Negeri ini, Rasuna Said seorang politikus wanita dan revolusioner, Sutan Syahrir seorang sosialis dan perdana menteri pertama, seorang Tan Malaka dengan pemikiran Komunisnya dan Ada El Rahma seorang tokoh wanita politikus yang memperjuangkan pendidikan untuk kaum perempuan sehingga di mata saya ia lebih hebat dari Seorang Kartini yang hanya jadi pahlawan emansipasi wanita dengan tulisan-tulisan di suratnya, bahkan sekolah Diniyah Putri Padang Panjang masih menjadi saksi sejarah perjuangan seorang El Rahma, ya benar-benar Mereka sangat memainkan peran yang baik buat Negeri ini di masanya. Dan banyak nama-nama lain yang belum terkenal atau memang sengaja di hilangkan dari sejarah. Saya banyak mengenal mereka lebih jauh dari blognya bang Ilham Fadli seorang pengagum Tan Malaka juga seorang Pengagum Ahmadi Neejad, meski terkadang tulisan-tulisannya tidak sejalan dengan cara berfikir saya , tapi saya sangat suka tulisannya. Saya lebih banyak tahu tentang pelaku-pelaku sejarah yang pernah terlahir di Negeri Gonjong Limo ini. Makanya saya banyak merekomendasikan blognya ke teman-teman saya agar mereka bisa tau perjuangan kakek nenek mereka dulu.

Mendung masih menggelayut di petala langit di sebelah barat siang ini, memberi kesan tak lama lagi akan turun hujan, beberapa tempat masih kelihatan birunya langit. Tapi itu tak menjadikan pemandangan di sekelilingku jadi tak menarik, rangkaian bukit barisan yang mengapit dua jalan setapak ini membuatku melempar pandangan jauh dari dalam mobil troper menyusuri kaki bukit barisan. Hamparan sawah penduduk dengan padi yang mulai menguning, sebagian baru siap panen dan padi yang di sabit masih di tumpuk dan di tutup dengan terpal pelastik di tengah sawah, jauh di ujung sana terlihat bukit barisan yang beberapa tempat gundul dan ternyata itu adalah ladang petani Gambir. Di sisi kiriku kebun cabai yang subur. Tak berapa lama, kami melewati semacam perkampungan penduduk, sederet rumah-rumah tua tak berpenghuni berjejer di pinggir jalan dengan ciri khas di kedua sisi atapnya runcing, saya sempat berpikir seandainya penerjun payung jatuh disini bisa gawat juga klo jatuhnya pas di ujungnya. Sebagian dindingnya terbuat dari bilah-bilah bamboo yang sudah dianyam rapi, sebagian lagi yang lebih unik dengan pola ukiran-ukiran di dinding kayu, hasil karya seni yang luar biasa, cita rasa yang tinggi di zaman orang-orang yang membuatnya. Tapi sayangnya sebagian sudah tak terurus bahkan mulai roboh, ntahlah kenapa rumah-rumah buatan tangan terampil ini tak diurus dan dihuni oleh anak cucunya. Emak-mak tua dengan kebaya yang sedang mengangkat padi yang dijemur dipinggir jalan, anak-anak kecil yang sedang bermain tanpa baju dan alas kaki. Beberapa petani yang sedang membungkuk di tengah sawah menyempatkan untuk menegakkan badan dan memperhatikan mobil troper kami yang melintas.
Jam di tangan ku sudah menunjukkan jam 02.34. jalan kecil beraspal sudah berakhir berganti dengan jalanan berbatu, tak berapa lama kami sudah memasuki jalan tanah liat kering yang seakan berharap hujan turun untuk bisa menjebak mobil yang lewat di bekas-bekas genangan air, jejak Ban mobil yang masih terlihat. Jalanan semakin kecil dan semakin sulit, beberapa tanjakan yang memilki kemiringan sekitar 45 derajat….
“ di tanjakan ini mobil kami pernah mundur lagi kri”
“ha??? Iya ustad??” gawat juga klo sempat masuk jurang pikirku.
“berapa jam lagi kita nyampe di lokasi ustad?”
“sekitar setengah jam lagi lah”
“ di sana mereka lagi banyak yang sakit Diare, sudah seminggu ini mewabah, terutama anak-anak” tambah Ustad
“ Iya ya Ustad….” Untunglah obat-obat diare tadi banyak di bawa
pinggangku rasanya sudah mau copot dan perutku seperti di aduk, syukurlah saya bukan tipe orang pemabuk saat berkendaraan. Sesekali kepalaku kejedot keatap mobil, bisa-bisa klo ada ibu-ibu hamil yang ikut langsung berojol kayaknya di mobil ini.
Tiang-tiang listrik PLN sudah tak ada lagi, sinyal Hpku sudah tak tau tinggal dimana. Saya masih sibuk menikmati pemandangan di luar sana dan mencoba melupakan jalan rusak ini, sesekali saya coba mengambil foto meski hasilnya jelek dari HPku, kamera di tasku ternyata baterainya sudah tak ada karena tak sempat di cas dan chargernya tertinggal di Padang. Pemandangan di luar sana semakin eksotis, sawah-sawah yang di olah oleh tangan-tangan pekerja keras.
“ beberapa waktu yang lalu saya sudah pernah ngasih mereka bantuan untuk membuat kincir agar bisa dijadikan pembangkit listrik, minimallah bisa mereka pakai sendiri tanpa berharap ke PLN” kata ustd. Zukron
“ trus ustd, kok mereka belum juga punya listrik sampai sekarang?”
“ itu dia masalahnya, uang yang sedikit itupun di habiskan sama perangkat Nagarinya”.
Gila pikirku, ….di tempat ini saja ada Gayus-Gayus tak punya nurani. Masa duit masyarakat buat kincir juga dimakan….
“ dia seringkali membodohi masyarakat disini….makanya bantuan bibit coklet yang 2000 batang ini kita langsung saja ngasih ke penduduk” Tambah ustd Zukron
Sulit memang di zaman sekarang memberikan kepercayaan kepada orang lain, mahal benar sebuah kejujuran di negeriku. Tidak orang besar, pejabat kecil-kecilan pun ikut-ikutan ambil bagian.
Pukul 03.40 kami akhirnya sampai ke lokasi baksos Mudik Coran, jorong Sungai Puah Kabupaten 50 Kota, sebuah Mushalla berukuran 10x6 meter mungkin. Di seberang jalan ada sebuah pancuran tempat berwudhu yang terbuat dari bamboo yang di belah, gemericik air membuat semakin alami tempat ini.
Melihat mobil kami datang penduduk mulai datang satu persatu, pengobatan kami mulai setelah solat Ashar. Cukup repot juga karena yang dari medis hanya saya yang bisa ikut, team medis yang biasanya menjelajahi negeri gonjong limo ini semua tak bisa , dr. Adi lagi dinas IGD, dr. Yani mendadak harus pulang ke lubuk Sikaping karena besok pagi ada acara di Rumah Sakit, dr. Rio ada urusan keluarga yang tak bisa di Tunda. Jadilah saya dokter sekaligus apoteker di baksos kali ini dibantu seorang ikhwah dari non medis.

Pasien cukup banyak, kebanyakan yang datang berobat anak-anak dan orang tua lanjut usia, ya memang banyak dari mereka yang lagi mengeluh diare. Ada dua orang pasien hamil memeriksakan kehamilannya. Seluruhnya sekitar 70 pasien. Karena banyaknya pasien dan tenaga yang kurang maka pengobatan kami lanjutkan selesai solat magrib, pengobatan lanjut dengan sebuah penerangan lampu petromax. Alhamdulillah sekitar jam 8 malam pasien yang berobat sudah habis. Di sela-sela saya mengobati pasien saya berdiskusi dengan mereka
“ Puskesmas di sini berapa jauh pak?”
“ sekitar 12 kilo”
“ Pustu???”
“ sekitar 4 kiloanlah nak dari sini dan disitu yang ada Cuma bidan”.
Bagaimana kalau malam-malam penduduk yang sakit ya, sedangkan ke Rumah sakit terdekat saja dengan kondisi jalan rusak parah seperti ini butuh satu jam lebih, belum lagi kalau hujan.
Penduduk sebagian masih di mesjid, berdiskusi dengan ustad bagaimana selanjutnya mengenai Listrik ke desa itu, mengenai pembentukan kelompok tani agar bantuan sapi dari pak Gubernur bisa turun . tak berapa lama ibu-ibu datang dengan masing-masing membawa rantang…
“Kok pakai acara makan segala ustd”, bisikku ke telinga ustad Zukron
“ gak papa, kita makan aja , nanti kalau kita nolak mereka bisa tersinggung”
Bukan itu yang bergelayut di kepala saya, tak habis pikir di tengah kemelaratan mereka dengan tangan terbuka mereka menyambut kami, menghidangkan makanan ala kadarnya yang dimata saya itu luar biasa. Telor mata sapi dan pucuk ubi rebus, nasi yang masih mengepul , harum pandan katanya itu padinya baru di Panen.
“ jan babaso nak, tambuahlah…” celoteh seorang ibu
“ iyo mak….”
Pucuk ibu rebusnya itu yang saya suka…..
Hujan di luar mulai turun, semakin lama semakin lebat. Langit akhirnya memuntahkannya juga malam ini. Tak terbayang bagaimana nanti jalan yang akan kami lalui untuk pulang, pas waktu kering aja tadi susahnya sudah seperti itu. Bersyukur bisa menginjakkan kaki disini, memberi sedikit apa yang bisa kami bantu untuk meringankan beban mereka. Memberi sedikit senyum di wajah Bundo kanduang, semoga ia tak lelah melahirkan orang-orang besar untuk negeri ini, senyum mereka tak akan bisa saya lupakan, apalagi telor mata sapi dan pucuk ubi rebus Bundo kanduang itu.

2 comments: