Friday 3 September 2010

Penyakit Kusta


Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali ke susunan saraf pusat.

Epidemiologi
Cara penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti, hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan lain adalah secara inhalasi, karena M. leprae dapat hidup dalam beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun.
Penyebab penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang China. Distribusi penyakit ini di tiap negara berbeda-beda.
Faktor-faktor yang perlu di pertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia.
Penderita yang mengandung M. Leprae sampai 103 per gram jaringan, penularannya tiga sampai sepuluh kali lebih besar dibandingkan dari penderita yang hanya mengandung 107 basil per gram jaringan.
Kuman penyebab kusta dapat di temukan di kulit, folikel rambut, kelenjer keringat, dan air susu ibu, jarang di dapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M. Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua Umur dimana anak- anak lebih rentan dari pada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun di dapatkan ± 13%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi pada kelompok umur 25-35 tahun.
Jumlah kasus kusta di dunia selama 12 tahun terakhir telah menurun 85% di sebagian besar negara atau diwilayah endemis. Pada awal 1997 ditemukan kurang lebih 890.000 penderita. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat pada akhir maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi juga tidak merata, dimana yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.

Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dinamakan sebagai mikrobakterium, dimana mikrobakterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan organisme patogen (misalnya Microbacterium tubercolose, mycrobakterium leprae) yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion.

Patogenesis
M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag disekitar pembuluh darah superficial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk kedalam tubuh, maka tubuh bereaksi mengeluarkan makrofag ( berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Namun setelah kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi segera akanterjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya.
Sel Schwann merupakam sel target untuk pertumbuhan M. leprae, disamping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, apabila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrsi dan beraktivasi sehingga aktivasi regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.

Gejala Klinis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis. Diantara ketiganya, diagnosis klinis merupakan yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakerioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Menuturt Ridley dan Jopling gejala klinis penyakit kusta adalah :
1. Tipe tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai kulit dan saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas tegas dan pada bagian tengah di temukan lesi regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sisinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda respon imun yang adekuat terhadap kusta.
2. Tipe borderline tuberculoid (BT)
Lesi paa tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe midborderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi mengkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Bisa di dapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4. Tipe borderline lepromatous
Secara klasik lesi diawali dengan makula yang main lama makin menyebar keseluruh badan. Dapat di temukan papul dan nodul dengan distribusi yang hampir simetris. Lesi pada bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas di bandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched out. Kerusakan saraf di tandai dengan hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut, dimana ini lebih cepat muncul di bandingkan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada predileksi.
5. Tipe lepromatosa (LL)
Pada tipe ini di temukan jumlah lesi lebih banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritem, berkilap, batas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada bagian badan mengenai bagian badan yang dingin, lengan, pungung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yag progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat di jumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang lama kelamaan menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas akan menyebabkan stocking & gloves anaesthesia. Bila penyakit ini progresif, muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus.

Diagnosis
Untuk diagnosis kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (utama), yaitu :
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebahagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu :
a. gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. gangguan fungsi otonom : paresis atau paralisis
c. gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif, namun kadang-kadang bahan di peroleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat di tegakkan atau disingkirkan.

Penunjang diagnosis
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif bukan berarti seseorang tidak mengandung M. leprae.
Untuk riset di periksa 10 tempat dan untuk rutin minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat tersebut, dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, yang paling eritromatosa dan paling infiltratif.
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan untuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup dan berbahaya karena dapat berkembang biak dan menular ke orang lain, sedangkan fragmented dan granular adalah bentuk mati.
Kepadatn BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. ) bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).
• 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP.
• 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP.
• 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP.
• 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP.
• 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP.
• 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP.
Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid.
2. Pemeriksaan histopatologik
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepramatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur-unsur tersebut.
3. Tes lepromin
Tes lepromin adalah tes nonspesifik untuk klasifikasi dan prognosis kusta, tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistim imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin disiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal, kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2 hari (reaksi fernandez), atau 3- minggu (reaksi Matsuda).
Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritem yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. leprae yaitu respon imun tipe lambat, ini seperti Mantoux test pada M. tuberculosis.
Reaksi Matsuda bernilai :
• 0 : papul berdiameter 3mm atau kurang.
• +1 : papul berdiameter 4-6 mm.
• +2 : papul berdiameter 7-10 mm.
• +3 : papul berdiameter > 10 mm atau papul dengan ulserasi.
4. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologik ini dapat membantu apabila gejala klinis dan bakteriologik tidak tidak jelas. Pemeriksaan serologi kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi M. leprae. Macamnya adalah :
• Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination).
• Uji ELISA (Enzymed Linked Immunosorbent Assay).
• ML dipstick (Mycobacterium Leprae Dipstick).

Pengobatan
Obat anti kusta yang paing banyak di pakai pada saat ini adalah DDS (diamidodifenil sulfon), kemudian klofazimin, dan rifampisin. Tahun 1998 WHO menambahkan 3 antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu olfoksasin, minosiklin, dan klaritomisin.
1. Dapson (DDS)
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Tidak seperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit PABA. Resistensi terhadap dapson timbul sebagai akibat kandungan enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta. Dapson diberikan sebagai dosis tunggal 50-100 mg/hari untuk dewasa, 2 mg/kgbb untuk anak-anak. Pemberian obat ini 5-6 bulan, dimana efeksamping yang timbul seperti erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Namun efek samping jarang di jumpai pada dosis lazim.
2. Klofazimin
Obat ini merupakan turunan zat warna iminoferazine dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Kerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Disamping itu obat ini mempunyai reaksi anti inflamasi untuk reaksi kusta khususnya ENL. Dosis klofazimin diberikan 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu, sedankan untuk anak-anak 1mg/kgbb setiap hari. Untuk mengurangi tipe 1 dan tipe 2 adalah 300 mg setiap bulan. Efek samping nya hanya pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdmen, diare, anoreksia, dan vomitus).
3. Rifampisin
Merupakan obat yang ampuh pada saat ini untuk kusta yang bersifat bakterisid. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Rifampisin diberikan dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgbb). Pemberian dosis tingai seminggu sekali (900-1200 mg) dapat menimbulkan flu like syndrome. Pemberian 600 mg atau 1200 mg sebulan sekali di toleransi dengan baik. Efek samping yang timbul seperti hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, erupsi kulit.

Obat kusta alternatif lainya :
1. Ofloksasin
Merupakan obat turunan fluroquinolon yang paling efektif terhadap M. leprae dibandingkan dengan siprofloksasin dan perfloksasin. Kerjanya menghambat enzim girase DNA mikobakterium. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Efeksamping yang timbul seperti mual, diare, ganguan saluran cerna lainnya, bebagai gangguan susunan saraf pusat, insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness, dan halusinasi. Namun efek samping ini jarang sekali di temukan. Pengunaan harus hati-hati pada karena dapat meyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari.
2. Minosiklin
Merupakan kelompok tetrasiklin dimana efek bakterisidnya lebih tinggi daripada klaritromisin dan lebih rendah dari rifampisin. Dosis harian 100 mg. Efek samping adalah pewarnaan gigi pada anak-anak, hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa. Tidak dianjurkan pada anak-anak dan masa kehamilan.
3. Klaritomisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid yang bakterisid terhadap M. leprae. Dosis harian 500 mg. Efek samping yang timbul seperti nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering di temukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.

No comments:

Post a Comment