Friday, 22 October 2010
Amanahku di Kota Himsh
“ ya Amirul Mukminin, Gubernur kami selalu datang di tempat tugas setelah matahari tinggi”.
Aku hanya terdiam, kubiarkan masyarakat menyampaikan apa yang mereka rasakan kepada khalifah Umar. Mungkin banyak ketidakpuasan mereka atas kepemimpinanku. Khalifah Umar menatapku, beliau seperti menginginkan jawabanku. Tak ingin rasanya aku menjawabnya, tapi ini harus dijelaskan agar tidak ada fitnah.
“wahai Sa’id, apakah benar apa yang disampaikan rakyatmu?”
Ku tegakkan kepalaku, ku pandangi Khalifah Umar, wajahnya yang begitu teduh tapi penuh wibawa, gurat-gurat di wajahnya sudah mulai menunjukkan usianya yang kian senja, Umar yang sangat ditakuti kaum Quraisy dulu saat Hijrah ke Madinah sudah tidak semuda saat itu lagi, tak ada satu pun makhluk yang berani menghalanginya….Amanah yang beliau pikul memanglah lebih besar dari amanahku yang hanya seorang Gubernur Himsh.
“ benar ya Amirul Mukmin, saya memang selalu datang saat matahari sudah tinggi. Di rumah saya tak memiliki seorang pembantupun untuk membantu istriku memasak. Saya harus menyiapkan roti buat keluarga saya, saya membuatnya sendiri kemudian saya menunggu dan memasaknya, setelah selesai saya mengambil wudhu saya melaksanakan shalat Dhuha”.
“Apalagi yang mau kalian laporkan?”. Lanjut Khalifah Umar
“sewaktu-waktu Gubernur sering menutup diri dan tak mau berbicara dengan kami, saat ada majlis beliau terkadang pergi begitu saja.”
Makin banyak rakyat mengadu dengan Khalifah, aku hanya menanggapi seperlunya karena memang ada alasanku untuk semua pertanyaan mereka.
Kembali Khalifah meminta jawabanku untuk pertanyaan itu. Ruangan kembali hening menunggu jawabanku, sikap kritis rakyatku kuterima dengan lapang dada. Tak terasa air mataku mulai terjatuh. Langsung teringat wajah Khubaib yang merintih kesakitan dipaku di kayu salib saat aku belum masuk Islam dulu.
“ seringkali aku merasa bersalah ya Amirul Mukminin, aku sering terbayang dengan Khubaib yang dibunuh oleh orang-orang Quraisy sedangkan aku tak bisa berbuat apapun kecuali menonton penyiksaan itu”.
Saat itu aku masih remaja, dengan semangat yang begitu membara saya berlari ke Tan’im sebuah tempat di luar Kota Makkah yang dijadikan tempat penyiksaan para pengikut Muhammad. Terik padang pasir tak bisa menyurutkan keinginanku menuju kesana saat kudengar ada seseorang yang akan disalib dan disiksa oleh petinggi Quraisy. Muhammad saat itu sudah pergi ke Madinah beserta beberapa pengikutnya, akan tetapi selalu saja satu dua orang masih ada pengikutnya yang kian bertambah di Kota Mekkah, aku tak habis pikir apa yang menyebabkan mereka kian bertambah dari hari ke hari, bahkan dengan berbagai penyiksaan mereka tanggung untuk seorang Muhammad. Dan cara-cara mempertontonkan penyiksaan seperti ini Quraisy beranggapan akan membuat jera penduduk Mekkah yang lain. Tubuhku yang kecil saat itu mencoba menerobos kerumunan orang, teriakan dimana-mana, aku harus melihat siapa kali ini yang berada di tiang salib itu.
“ bunuh…bunuh …bunuh…” seakan panasnya padang pasir semakin membuat garang petinggi2 Quraisy…
Ku saksikan di sana ada Abu sofyan bin Harb, Safwan bin Ummayyah dan petinggi lainnya. Cambukan beberapa kali sudah menghujani tubuh Khubaib…
“ izin kan saya shalat dua rakaat sebelum kalian bunuh….” Kata-kata itu mengalir begitu saja dari lidah Khubaib tanpa rasa takut sedikitpun.
Kemudian khubaib pun melaksanakan shalatnya sampai selesai…
“ sudikah engkau jikalau Muhammad menggantikanmu, dan kamu kami bebaskan”. Tawaran beberapa petinggi Quraisy.
“ saya tak ingin bersenang-senang dengan istri dan anak2 saya, sedangkan Muhammad tertusuk duri…” jawabnya dengan lantang.
Merinding saat aku mendengar jawaban itu, keyakinan yang luar biasa besar. Garangnya gurun pasir tak sedikitpun menggoyahkan keyakiannnya, puluhan paku yang satu persatu mulai tertancap tak menyurutkan imannya, puluhan tombak tertancap hingga khubaib menghembuskan nafasnya di kayu salib…..
Lama aku tak bisa melupakan kejadian penyiksaan itu, wajah khubaib yang dipaku di kayu salib seakan membayang-bayangiku. sEringkali bahkan aku bermimpi bertemu dengan Khubaib dan melihatnya melakukan shalat 2 rakaat persis seperti saat beliau mau dibunuh….setelah kejadian itu akupun memutuskan untuk berangkat ke Madinah menemui Rasulullah dan akupun masuk Islam. Tapi bayang2 Khubaib selalu tak bisa aku hilangkan, sesalku yang tak bisa berbuat apa2 saat itu sangat besar.
“ Terimakasih Sa’id, engkau tidaklah mengecewakanku”kata Umar mengakhiri penjelasanku
Amiril Mukminin kembali ke Madinah, tak ada lagi rasa curiga dari rakyatku, mereka semua sudah tau alasan yang menjadi pertanyaan selama ini.
Tidak berapa lama setelah kunjungannya ke Himsh, Umar mengirimiku beberapa Dinar. Ku mintai pendapat istriku.
“ bersyukurlah Sa’id, kita akan membeli makanan dan pembantu untuk meringankan kerja kita.” Jawab istriku. Ku pandangi pundi2 dinar yang masih di tanganku.
“ wahai Istriku adakah usulan yang lebih baik dari itu”.
Wajah istriku bingung dengan pertanyaanku. “ bagaimana menurutmu sendiri wahai Sa’id?”. Istriku balik bertanya.
“ bagaimana kalau kepingan-kepingan dinar ini kita bagikan saja kepada fakir miskin di Kota ini, kita tidak lebih butuh dibanding mereka. Kita menabung untuk akhirat.” Jawabku
“kalau itu memang lebih baik, laksanakan wahai Sa’id”. Ku pandangi istriku, tak ada sesal di wajahnya dengan keputusanku. Dia selalu mendukungku di jalan ini.
Senja mulai menghilang di langit kota Himsh, malam pun mulai datang menyelimuti Kota ini. Saatnya aku bercengkrama dengan Rabbku, menghabiskan malam-malam yang panjang bersamaNYA, mengadukan segala permasalahan rakyatku. Semoga besok saat matalu terbuka kedamaian selalu menyelimuti kota ini.
Labels:
jendela hati
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment