Friday 11 February 2011

“Disini, Aku Akan Menunggumu Kawan”


Sore itu, gerimis mulai jatuh satu persatu, awan hitam semakin pekat menutupi langit sore ini, ku percepat langkahku mengimbangi rintik hujan yang semakin menjadi. Ku susuri lorong-lorong gang sempit ini untuk mencarimu kawan, berharap aku menemukanmu sebelum hujan ini semakin deras. Kemana gerangan dirimu . tapi satu tujuanku pohon itu, tempat kita selalu bercerita bersama disela-sela kuliah dan aktivitas kampus yang padat. Aku menerimamu dengan tangan terbuka sebagai seorang sahabat, begitu juga kamu. Perbedaan yang ada kita jadikan untuk saling melengkapi, kekurangan kita adalah kesempatan bagi kelebihan kita untuk saling mengisi. Tak ada masalah selama ini, kecuali mereka yang tak bisa membuka mata hatinya dengan bijak. Apakah engkau peduli???. Kita sudah sampai tahap menerima, bukan memaklumi. Kenapa mesti memikirkan apa kata orang? Diri ini adalah yang terbaik yang kita punya, meski penuh dengan kekurangan. Tapi teman yang ada selama ini bersama kita datang untuk menutup kekurangan itu. Harga persahabatan itu mahal sobat. Apa hanya karena mendengar kata-kata orang lantas kita putus tali persaudaraan yang selama ini telah terjalin?

Kenapa saat ini engkau mempermasalahkan lagi perbedaan ini kawan. Aku tak habis pikir dengan keputusanmu untuk pergi begitu saja.

Akhirnya ku temukan juga, benar dugaanku engkau akan memilih tempat ini untuk menyendiri. Perlahan tanpa menyapa aku duduk disebelahmu.

” Marah kau rik, sama siapa, sama saya?”

Kau masih diam tak bergeming, kau lemparkan pandanganmu ke kejauhan berusaha untuk menghindari kontak mata denganku.

” erik, tak baik begini kami jadi bingung…ayolah ceritakan apa yang terjadi, apakah saya berbuat salah”

Bening disudut matamu menetes perlahan seakan membawa semua gundah yang kau pikul.

” klen tidak salah kri, saya lah yang salah, sayalah yang salah kenapa saya Homo”.

Aku terdiam sejenak berpikir untuk memberikan kata yang tepat saat itu, merinding saya mendengar kata-kata yang baru saja terlontar dari mulutmu, kata-kata itu masih tabu di telingaku, tapi itu bukanlah hak saya untuk menghakimimu.

” trus gara-gara itu kamu tak mau bicara lagi dengan kami?”

” bukan, saya merasa berdosa berteman dengan kalian, di Rumah sakit klen juga akan mereka cap homo klo berkawan dengan saya kri…”

” gila…lantas itu yang membuatmu menjaga jarak dengan kami???”

Engkau terdiam dan ku tafsirkan itu adalah sebuah pengiyaan

” jadi, ….persahabatan ini?….”….. suaraku serak tertahan ahhhhh….

” saya sendiri tak suka dibilang Homo, apa klen mau juga di bilang Homo???” suaramu seperti meninggi melepas semua kekesalan, emosi dan kesedihan yang tak tertahan seperti bercampur. Aku paham apa yang sedang kau rasakan kawan.

” aku hanya menjaga jarak dengan klen kri, saya tak marah…saya akan berdosa berteman dengan klen, bagaimana klen aktivis dakwah di kampus bisa berteman dengan saya”

” dosa???…itu buka urusan saya” jawabku kesal

” jadi urusan siapa, urusan hantu???”. timpalmu

” saya tak peduli, mau homo mau hantu itu urusan kamu, lagian kita nanti ke Sorga atau ke Neraka kita juga sendiri-sendiri”……aku semakin kesal dengan semua alasanmu. Kenapa perbedaan ini selalu menjadi masalah

” tidak kri, saya tak mau gara-gara saya orang lain berprasangka buruk dengan klen, cukup kebaikan klen selama ini untukku kri..”. kau berusaha menepis tanganku di pundakmu

” bisakah kamu untuk tidak mendengarkan ocehan mereka rik?

” apakah klen juga bisa mendengar cemoohan itu???”.

Aku terdiam, aku tak ingin lagi memperpanjang perdebatan ini. Kamu akan selalu menang dan merasa itulah yang terbaik

“sudahlah kri, kita punya jalan masing-masing”. Sambil menepuk pundakku engkau pun berlalu.

Aku masih terduduk di bawah pohon itu, langit sore semakin menghitam…..

” aku akan menunggumu kawan” lirihku seraya mengusap duka dipelupuk mataku

No comments:

Post a Comment