Tuesday 20 April 2010

Mereka yang pergi, akankah kembali.......


Masih ingat dulu saat masih di SD, guru-guru memarahi kami gara-gara orang tua kami memilih partai berlambang ka’bah sehingga mengakibatkan pohon beringin tumbang dan mengalami kekalahan telak di kampungku , kami tak mengerti apa sebabnya mereka sampai meradang seperti itu dan kenapa kami yang jadi sasaran.kami Tak tau pergolakan dunia politik dan tak tertarik sama sekali saat itu, dunia kami hanyalah dunia bermain dan dunia tanpa beban, karena kami hanyalah sekumpulan anak petani yang merajut sebuah mimpi di bangku-bangku sekolah ini. Kami juga tak mengerti apa alasan orang tua kami memutuskan untuk memilih itu di bilik suara ketimbang pesanan guru-guru kami beberapa hari sebelum pemilihan. Kami hanya menikmati saat-saat penghitungan suara sambil menjagokan jagoan masing-masing, ya…hanya sekedar ajang bermain saja. Sekarang saya mulai mengerti ternyata itu adalah salah satu bentuk kebebasan yang terkekang di zaman itu, semuanya sudah di atur sedemikian rupa sehingga yang terlihat di lapangan hanya sekedar formalitas saja, wajar saja rezim yang bercokol saat itu mampu bertahan sampai puluhan tahun, selama 32 tahun negeri ini dikelola semaunya. Semua orang menginginkan kebebasan, mencari jalan untuk terlepas dari rantai keterkungkungan saat itu. Sebagai seorang yang bukan pelaku sejarah, saya hanya membaca melalui tulisan2 dan cerita-cerita tentang kegigihan orang-orang saat itu. Saya juga baru mengerti sekarang kenapa dulu kakak saya sering bercerita mereka selalu dikejar-kejar oleh intelijen, dan LSM mereka berusaha dibubarkan setiap saat, sekarang saya mengerti ternyata kakak saya saat itu adalah aktivis kiri pergerakan di dunia kampus, mereka memperjuangkan ide2 marxis. Tapi apapun ide2 penggerak saat itu baik kanan atau kiri semua orang berusaha untuk memutus rantai yang selama ini membelenggu. Maka terjadilah pergolakan tahun 98 yang berujung pada runtuhnya rezim Suharto. Saat itu aku baru duduk di bangku smp, dan aku juga belum mengerti kenapa satu persatu cewek2 mulai mengenakan jilbab ke sekolah, kebijakan kepala sekolah pun lagsung berubah dengan masuknya kepala sekolah baru, semua cewek muslim wajib menutup aurat. sekarang aku mulai mengerti ternyata itu adalah sebagian hasil perjuangan mereka para aktivis dakwah saat itu.
Perjuangan yang sangat luar biasa menurut saya, saya tak melihat mereka dari golongan mana, mereka siapa, ide siapa yang bercokol di kepala mereka. Tapi kegigihan mereka meski dalam kondisi tertekan saat itu ternyata mampu merubah suhu politik saat itu, bahkan sampai sekarang. Semua orang menyambut tumbangnya rezim orde baru dengan suka cita meski juga kita tak bisa menutup mata berapa ratus orang yang terpaksa meregang nyawa sebagai korban untuk lahirnya era reformasi.
Saya mulai tertarik dengan dunia politik saat masuk SMA, tapi mungkin jujur saja semua itu lebih besar adalah peran lingkungan yang merubah pola pikir saya. Contoh nyata bukan sekedar teori-teori yang membosankan, ikhlas memanng tergambar dari keperibadian mereka sehari-hari. Bukan hanya sekedar penonton secara perlahan saya mulai masuk ke dalamnya. Pemilu tahun 2004 saya resmi memiliki kartu pemilih dan saya berhak untuk menentukan pilihan saya. Opini yang mengatakan politik itu kotor ternyata tidaklah benar seluruhnya. Sedikit demi sedikit belajar ilmu politik, memberanikan diri dari pintu ke pintu untuk sekedar berdiskusi bahkan beradu argument dengan orang yang nota benenya jauh lebih tua. Sering orang bertanya berapa kami di bayar untuk ini. Dalam hati, keyakinan inilah yang meringankan langkah kami, cita-cita inilah yang memberi kami sebuah keberanian. Malah kami lah yang banyak berkorban materi dan tenaga untuk ini. Imbalan hanyalah sebuah kepuasan batin yang tak terbayar siapapun. Hari-hari menjelang spmb saat itu bahkan tak mampu untuk menyurutkan langkah kami untuk terus berkunjung dari pintu ke pintu penduduk. Sekarang saya bertanya pada diri sendiri, apa yang menyebabkan begitu ringannya untuk melakukan itu semua. Ternyata sebauah cita-cita perjuangan yang kita yakini saat itu.
Bagaimana saat ini? Ntahlah, sebagian mulai memetik hasil dan lebih mementingkan kepentingan sendiri, sering juga pertimbangan dan keputusan diukur berdasarkan untung rugi politik, diplomatic dan strategic dan itu tidak bisa kita pungkiri. Karena untung rugi yang diukur berdasarkan politik belum tentu sesuai dengan untung rugi dalam kaca mata ideologik. Wajar saja menurut saya beberapa juga mulai menarik diri dan mempertanyakan kebenaran yang sedang diperjuangkan, mulai acuh tak acuh. Di ranah mana pun mulai banyak kita temukan dari dunia politik, organisasi kampus maupun organisasi kemasyarakatan. Terlebih bagi mereka yang berjuang di akar rumput yang sering kali merasa dikecewakan oleh sebuah keputusan. Kekecewaan bukanlah sebuah hal yang naïf kawan, karena kita tercipta bukanlah sebagai malaikat tapi hanya seonggok manusia lemah. Saya memandang mereka sebagai orang-orang yang mempunyai harapan yang sangat besar . Tapi yang jadi pertanyaan saya, kenapa orang-orang yang dengan militansi tinggi dengan sangat mudah mencap mereka yang memilih mundur ataupun berhenti sejenak dengan cap future. Anda salah kawan, kalau masalah ibadah mungkin anda yang sedang ghiroh-ghirohnya juga belum tentu lebih baik, siapa yang bisa menjamin ibadah anda bernialai A+, atau siapa yang bisa menjamin nilainya karena “tidak aktif” bernilai C-. Tuhan saja tidak pernah memberikan jaminan itu untuk anda. Kenapa kita tidak mempertanyakan dosa apa yang saya perbuat sehingga saudara kita memilih jalan lain. Tidak perlu ngotot mengatakan jalan andalah yang paling benar, karena ia juga punya alasan mengatakan jalannyalah yang paling benar. Seharusnya kita berpikir bagaimana merangkul mereka kembali dan memberikan sebuah kepercayaan dan harapan.
Pernah suatu saat berdiskusi dengan seorang sahabat, pendapat beliau biar ajalah toh mereka juga udah paham, siapa yang mundur silahkan karena suatu saat mereka akan digantikan dengan generasi yang lebih baik. Sejenak saya berpikir, memang benar alasannya tapi di satu sisi kok saya sulit menerima pendapat itu. Saya pribadi dengan segala kelemahan dan kekurangan saya mungkin tetap bisa bertahan meski tak seghiroh-ghiroh anda dan berada pada lapis legit karena selama ini masih ada orang-orang yang terus peduli, yang selalu setia mengingatkan saya. Intinya jangan lelah untuk mengingatkan, percayalah pasti masih ada ruang untuk kebaikan dalam hatinya. mereka yang pergi akankah kembali atau pergi tak kembali.......
wallohualam bishowab

N/B: terkhusus buat saudaraku yang beberapa hari yang lalu kita berdiskusi tentang ini. Selamat membaca dan dipikirkan kembali.


Padang, 23 februari 2010

No comments:

Post a Comment