Sunday 29 August 2010

IZINKAN SENYUMKU IKHLAS....


“Jangan terlalu berharap.....” Sembari kulemparkan pandanganku keluar jendela berusaha untuk membuang duka ini, kata-kata itu begitu mudahnya mengalir dari lisanku semudah memoles senyum selama ini, ntah apa yang terpikir sekarang dan aku sama sekali tidak terlalu pusing dengan apa yang barusan ku katakan. Aku tak meneruskan pembicaraanku karena sekarang aku hanya ingin diam, aku ingin sendiri, biarkan aku bersama senja sore ini menghabiskan waktu yang kian hari kurasakan begitu mencekam, izinkan detik-detik ini berlalu dalam kesendirianku.

“Kri....kamu tidak bisa selamanya seperti ini, keputusan ini hanya akan menyiksa batinmu. Coba pikirkan kembali keputusanmu. Akankah usahamu selama ini akan sia-sia?”.

Lama kamu terdiam menunggu jawabanku, sebuah penantian yang tak akan berujung. Sesekali kumamfaatkan kesempatan untuk melirik wajahmu, wajah yang sangat melekat di benakku, bahkan mungkin guratan di wajahmu aku sudah sangat hafal, berapa tahi lalat yang ada di sana ,dimana letaknya, sebesar apa, bagaimana tatapanmu yang tulus penuh kejujuran. Memang yang engkau tunjukkan apa adanya, semua harapku terlukis di balik senyummu, tapi hanya sebatas itu tidak lebih....

“Kri ...jawab dong!, apakah kamu hanya diam, diam dan diam untuk selamanya, siapa lagi yang bisa kamu percayai?”. Suaramu mulai meninggi, kau berusaha menatap mataku dan mencoba masuk ke sana, takkan ku biarkan. Hanya diri ini yang tahu, cukup kau jujur dengan luarku.

“......He..eh..tak kan bisa, yakinlah masalahmu tak akan selesai dengan cara seperti ini...”. Suaramu tiba-tiba berubah sinis seraya kamu membuang kekesalan bersama dengan nafasmu

Ku lihat wajahmu mulai memerah, air mata yang tertahan masih tergenang di sudut matamu . engkau mencoba melukiskan disana isyarat kemarahan, sesal dan duka yang sulit ku bayangkan seperti apa.

“...Maaf, keputusan ini sudah bulat, aku tak bisa bertahan dalam beribu kepura-puraan, aku tak ingin terkurung bersama angan-angan kosong.”lirihku tanpa suara.

Ku coba untuk menatap kembali wajah mu dan mencoba membaca sejauh mana kesabaranmu, seakan luka ini kian menganga, akhh...tapi aku takkan membiarkan air mata ini jatuh setetes pun apalagi hanya untuk sebuah penyesalan yang tidak berarti, air mata ku sudah kering, darahku pun seakan enggan untuk mengalir lagi, aku sudah mati,ya....aku sudah mati ,sekarang biarkan aku untuk pergi mencari dunia baruku . berikan aku kebebasan, agar aku membubung ke angkasa ,membuka sayap duka yang selama ini terkungkung, agar ku hiasi cakrawala dengan senyum keikhlasan, biarkan mataku menembus awan kemunafikan yang selama ini ku pakai untuk hijab, izinkan nyanyian kesombongan ini berakhir sampai di sini. Aku lelah....

“Kri....”

ku coba mendongakkan kepalaku ke arah suara, dan kemudian kutundukkan kembali, ku benamkan kepalaku dalam kehampaan. Aku tak ingin melihat wajah itu lagi, terlalu polos dengan kebohonganku selama ini.

“Kri..., kuhargai keputusanmu, selama ini ku coba untuk jujur, karena aku berfikir kapan pun kamu akan butuh dengan kejujuran itu, ku perlihatkan kepadamu betapa bercak di wajahmu adalah sesuatu yang harus kau hilangkan, betapa keanggunan tubuhmu adalah sesuatu yang berharga. tapi, ternyata hanya sebatas itu. Aku sendiri tak mengerti mengapa kejujuranku adalah sebuah kebohonganmu. Maafkan aku Kri..., karena kemampuanku hanya sebatas itu, hanya sebatas keindahan luarmu, aku hanya mampu memperlihatkan kekurangan-kekuranganmu sebatas senyuman yang ternyata kau paksakan di depanku, tanpa aku bisa memperlihatkan lebih jauh dari itu, dan sekarang luka itu sudah menganga bahkan itu pun belum bisa ku perlihatkan untukmu, ya...aku hanya sebuah bayang mu yang terbentuk dari apa yang kau tampakkan selama ini, cermin ini lah pembatas kita tak ada selain itu, namun ternyata engkau sendiri yang membingkai dengan kemunafikan........”

“pergii.........”. tanpa sadar aku menjerit.

” Tolong hentikan, biarkan aku lepas, aku hanya ingin menyendiri dalam dukaku....”. suaraku seakan merintih,memelas dalam keperihan. Ruang waktu ini begitu sempit, tak juga untukku mencari setitik ketenangan, kenapa tak seorang pun memberiku kesempatan?. Kenapa terlalu sulit melepas genggaman raguku? Asaku telah hilang, biarkan aku mencari sebongkah harap dalam mimpiku.

“Prakk...k....”.ku harap inilah akhir duka ini. Tanganku masih terkepal, dengan tetesan darah yang terus mengalir. Tapi, tidak untuk air mata ini, ia tidak akan kubiarkan mengalir meski hanya setetes, terlalu sering sesal ku guyur dengan air mata, tak kan bisa selamanya aku memoles diri di depan cermin ini , biarkan ia retak, hancur bersama bayanganku, aku tak ingin bingkai ini memaksaku ,biarkan aku terbang, bebas mengepakkan sayapku, menukik membelah cakrawala agar suatu saat nanti ketika Sang pemilik waktu bertanya, senyumku menjawab ikhlas...........



Juara III lomba cerpen Dekan Cup 2006 fakultas kedokteran Unand

cÕèçĤïé

04120127

No comments:

Post a Comment